Bab II
pembahasan
1.pengertian mahkum’Alaih
Mahkum’Alaih adalah orang yang
kepadanya di perlakukan hukum. Ulama ushul figh telah sepakat bahwa
mahkum’alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab Allah
ta’ala,yang di sebut mukallaf. Dengan kata lain,orang yang di tuntut oleh allah
untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah di pehitungan berdasarkan
tuntutan Allah.[1]
Dari segi Bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang
dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul figh, mukallaf disebut juga
mahkum’alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah allah maupun dengan larangannya. Semua tindakkan hukum yang
dilakukan mukallaf akan di minta pertanggung jawabanya, baik di dunia maupun di
akhirat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah allah,
dan sebaliknya bila mengerjakan larangan Allah, ia akan mendapat siksa atau
resiko dosa karena melanggar aturan nya,di samping tidak memenuhi kewajibannya.[2]
Seorang mukallaf dianggap sah
menanggung beban beban menurut syara’ harus memenuhi dua syarat:
Pertama: mukallaf mampu memahami
dalil taklif(pembebanan). Seperti jika dia mampu memahami nash-nash hukum yang
dibebankan kepadanya dari al-qur’an dan
as Sunnah secara langsung atau dengan perantaran . karena orang yang tidak
mampu memahami dalil taklif, tentu dia tidak dapat melaksanakan tututan itu dan
tujuan pembebanan tidak akan tercapai. Kemampuan memahami dalil taklif hanya
dapat terwujud dengan akal. Sedangkan nash yang dibebankan kepada orang-orang yang
berakal, hanya dapat dipahami akal mereka. Karna akal adalah alat memahami dan
menemukan, dan dengan akal suatu keinginan itu dapat diarahkan untuk mengikuti.
Namun, karena akal adalah sesuatu yang
samar yang tidak dapat diketahui oleh indera lahir, maka syari’ mengikat
pembebanan itu dengan sesuatu yang diketahui oleh indera, yaitu tempat dugaan
akal, yakni usia baligh(dewasa). Siapa yang sampai masa baligh tanpa ada
tanda-tanda kerusakan pada kekuatan akalnya,maka dia dianggap mampu untuk
diberi beban hukum.oleh karna itu orang gila, anak kecil, tidak diboleh diberi
beban, karena tidak mempunyai akal sebagai saran memahami dalil taklif.
Kedua: mukallaf adalah ahli dengan
sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli menurut Bahasa artinya layak dan
pantas, seperti jika dikatakan: si polan ahli dalam memelihara wakaf, artinya
layak dan pantas baginya.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul
figh, keahliannya itu terbagi menjadi dua:keahlian wajib dan keahlian
melaksanakan.
Keahlian wajib adalah kelayakan seseorang
untuk mendapatkan hak dan kewajiban. Dasarnya adalah sesuatu yang diciptakan
allah swt. Pada manusia dan dapat yang mendapatkan hak dan menerima kewajiban.
Keistimewaan ini oleh ulama figh disebut adz dzimmah adalah sifat naluri
manusia yang dengan itu ia menerima hak bagi orang lain dan kewajiban untuk
orang lain pula.
Keahlian wajib ini berlaku bagi
setiap manusia, dengan keadaan bahwa ia adalah manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, berupa janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai atau bodoh, berakal
atau gila, sehat maupun sakit maupun sakit. Karena kelayakan ini disarankan
pada keistimewaan alami pada manusia.Setiap manusia, yang mana saja mempunyai
kelayakan wajib.Tidak ada manusia yang tidak memiliki keahlian wajib, karena
keahlian wajib itu adalah sifat ke’’manusia’’annya.
Sedangkan keahlian melaksanakan adalah kelayakan
seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatannya perhitungkan menurut syara’
.artinya, jika ucapan atau perbuatan itu menimbulkan akad atau pengelolaan,
maka akan diperhitungkan menurut syara’
dan akan berakibat hukum. Jika ia melaksanakan shalat, puasa, haji atau
melaksanakan suatu kewajiban, maka yang dilakukan itu di perhitungkan oleh
syara’ dan gugurlah kewajiban itu baginya. Jika ia melakukan kriminal atas
jiwa, harta atau harga diri orang lain, maka ia berdosa akibat tindakannya dan diberikan hukuman
fisik atau hartanya. Keahlian melaksanakan inilah yang di minta
pertanggunganjawaban.Dasar yang ada pada manusia adalah kemampuan membedakan
dengan akal.[3]
2.taklif
Dalam islam, orang yang terkena
taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan
hukum. Tidak heran jika sebagian besar ulama ushul figh pemahaman.[4]
Ulama ushul figh telah sepakat bahwa
seseorang mukallaf dapat di kenai taklif jika telah memenuhi dua syarat,yaitu:
A.orang yang telah memahami khithab syara’(tuntutan
hukum) yang terkandung dalam al-qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif tidak dapat di capai
kecuali akal manusia,karena hanya akallah yang dapat hanya mengetahui taklif
itu harus dilaksanakan atau di tinggalkan. Namu demikian, karena akal adalah
sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan berbeda antara satu dengan yang
lainnya,maka syar’menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang
konkret(jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi
konkret itu adalah balighnya seseorang. Penentuan bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan
keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpiyang pertama kali,
atau telah sempurna umur lima belas tahun[5]
B.seseorang
harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul figh disebut ahlunli
al-taklifi.kecakapan menerima taklif atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah
kepantasan untuk menerima taklif. [6]
Selanjutnya dipermasalahkan, apakah
’’ islam’’ merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain,
apakah non muslim dengan kekafirannya dituntut untuk melakukan beban hukum atau
tidak. Dalam hal ini dapat perbedaan pendapat para ulama.
Pertama,imam
syafi’I,ulama Iraq yang bermadzhab hanafi dan mayoritas ulama dikalangan
mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan tutaklif
dengan tercapainya syar’I mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai
beban hukum untuk melaksanakan syari’at ,seperti ibadah shalat,puasa dan
haji.artinya,meskipun mereka tidak sah niatnya karna tidak beriman, namun
mereka dituntut untuk melaksanakan
ibadah itu sebagaimana terhadap mukallaf lainnya.
Kedua,pendapat
dari sebagian ulama hanafiyah, abuishak al-asfahani, sebagian kelompok syafi’iyah dan
sebagian ulama mu’tazilah menyatakan bahwa orang kafir itu tidak dikenai taklif
untuk melaksanakan ibadah, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan
dengan terpenuhnya syarat syar’I sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat
taklif itu.
Ketiga,kelompok
ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan
larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk
melakukan perbuatan yang disuruh
diperlakukan niat;sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan
jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat tidak diperlakukan niat.[7]
3.ahliyyah
Secara harfiyah, ahliyyah berarti
kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli
untuk menangani bidang tersebut.
Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah
sempurna jasmani dan akalnya, seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat
tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi
yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demi kian, jual belinya, hibbahnya
dan lain-lain dianggap sah.Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung
jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[8]
Pembagian ahliyyah
Para ulama membagi ahliyyah kepada
dua bentuk, yaitu: ahliyyah al-ada’
dan al-wujud
-ahliyyah
al-ada’ adalah sifat kecakapan
bertindak hukum seseorang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negative. Apabila ia
mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ maka ia dianggap telah memenuhi kewajibannya,dan
untuk itu ia diberi pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’maka ia
berdosa. Karna itu ,ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
1.ahliyyah al-ada’ al-kamilah.
Yaitu seseorang semenjak lahir
sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun.Dalam batas umur ini,
seseorang belum sempurna akalnya.Sedangkan taklif itu dikaitkan dengan sifat
berakal. Karna itu seseorang batas umur ini belum disebut mukallaf atau belum
dituntut melaksanakan hukum.perbuatan dan ucapannya pun tidak mempunyai akibat
hukum,karena itu transaksi yang dilakukannya tidak sah dan tidak mempunyai
akibat hukum.
2.ahliyyah al-ada’ al-nagishah.
Yaitu seseorang yang telah
mencapai umur tamyiz sampai batas dewasa.Maksudnya lemah dalam bentuk berikut
ini, karena akibatnya memang masih lemah dan belum sempurna.Sedangkan taklif
berlaku pada akal yang sempurna seseorang yang dalam batas umur ini hubungannya
dengan hukum, bahwa sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi
tidak dikenai hukum.
Sehingga ucapan dan
perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai
akibat hukum tersendiri yaitu:
1.tindakan yang semata-mata menguntung kepadanya.
Misalnya:menerima
pemberian(hibah) dan wasiat. Semua perbuatan dalam bentuk ucapan maupun perbuatan
adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan wali.
2.tindakan yang semata-mata merugikannya atau
mengurangi hak-hak yang ada padanya.
Misalnya:pemberian yang
dilakukan, baik dalam bentuk hibah atau sadaqah,pembebasan hutang, jual beli
dengan harga yang tidak pantas. Segala perbuatan tersebut, baik ucapan maupun
perbuatan yang dilakukan adalah tidak
sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk
disetujui oleh walinya.
3.tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian,jual
beli,sewa-menyewa, upah-mengupah atau lainnya yang disatu pihak mengurangi
haknya dan di pihak lainnya menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang
dilakukan tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahannya tergantung pada
persetujuannya yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
-ahliyyah
al-wujud adalah sifat kecakapan
seseorang untuk menerima hak-hak dan kewajiban haknya,tetapi belum cukup untuk
di bebani seluruh kewajibannya.
Misalnya,apabila
seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyyah al-wujud,
maka yang disebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila
harta bendanya dirusak orang lain,maka dianggap cakap untuk menerima ganti
rugi. Demikian juga halnya dalam harta warisan .ia dianggap cakap untuk
menerima harta warisan dari keluarga yang meninggal dunia.
Para ulama ushul figh juga
membagi ahliyyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
1.ahliyyah al-wujud al-naqisah.
Yaitu ketika seseorang itu
masih berada kandungan ibunya(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujud
yang belum sempurna,karna hak-hak ia harus ia terima belum dapat menjadi
miliknya. Sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat,walau hanya untuk sesaat
apabila ia telah lahir,maka hak-hak yang di terima menjadi miliknya
2.ahliyyah al-wujud al-kamilah .
Yaitu kecakapan menerima hak
bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan
berakal, sekalipun masih kurang,seperti orang gila.
Dalam status ahliyyah al-wujud
(sempurna atau tidak), seseorang tidak dibebani tuntutan syara’baik yang
bersifat ibadah seperti shalat dan puasa (yang bersifat rohani), maupun
tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak
milik.[9]
4.halangan(‘awaridl)ahliyyah
Ulama Ushul menyatakan bahwa kecakapan
bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut :
A.awaridh
al-samawiyah, yaitu halangan yang datang
dari allah bukan disebabkan perbuatan
manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut(sakit yang berlanjut
dengan kematian ), dan lupa.
B.awaridh
al-muktasabah, yaitu halangan yang
disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di
bawah penganpunan.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh
terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan
sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karna itu, mereka membagi
halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga
bentuk, yaitu:
A.
Halangan
yang dapat menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna
(ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, dan terpaksa.
B.
Halangan
yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini,
ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapan
dalam bertindak hukum. Tindakan hukum yang sifat nya bermanfaat untuk dirinya
dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
C.
Halangan
yang bersifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang
berutang, pailit, di bawah pengapunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat
tersebut, sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang. Tetapi beberapa
tindakan hukuman yang berkaitan dengan masalah harta di batasi. Hal ini itu
dimaksudkan untuk kemashlahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang.[10]
5. hal-hal yang menghilangkan kemampuan bertindak
Di muka telah diterangkan
bahwa setiap manusia itu mempunyai ahliyatul al-wujud (kepantasan menerima hak
dan kewajiban) baik laki-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun belum
dewasa, baik sehat maupun gila dan biarpun ahliyatul al-wujub itu naqis(kurang
sempurna) maupun kamil ( sempurna). Juga
telah dijelaskan juga bahwa setiap dewasa itu mempunyai ahliyatul
ada’(kemampuan bertindak) yang sempurna. Akan ttapi ahliyatul ada’ ini
kadang-kadang berhadapan dengan hal-hal yang dapat menghilangkan kemampuan
bertindak sama sekali, atau mengurangi nya atau tidak dapat menghilangkan atau
menguranginya, tetapi hanya merubah sebagian hukum dari tindakan tersebut.
Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak, yang
disebut AWARIDHUL-AHLIYAH itu ada dua macam .yakni ‘’samawiyah dan kasabiyah’’
Yang disebut halangan samawiyah ialah hal-hal yang
berada diluar usaha dan ikhtiyar manusia.Halangan samawiyah itu ada 10 macam.
Yakni:
1.
Keadaan
belum dewasa
2.
Sakit gila
3.
Kurang akal
4.
Keadaan
tidur
5.
Pingsan
6.
Lupa
7.
Sakit
8.
Menstruasi
9.
Nifas dan
10.
Meninggal
dunia
Yang disebut halangan
kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang
menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak.Halangan kasabiyah itu ada 7
macam. Yakni:
1.
Boros
2.
Mabuk
3.
Bepergian
4.
Lalai
5.
Bergurauan(main-main)
6.
Bodoh(tidak
mengetahui) dan
7.
terpaksa
halangan-halangan yang menimpa
kepada kemampuan bertindak itu mempunyai daya kekuatan yang berbeda-beda.
1)
Dapat
menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali. Halangan-halangan yang dapat
menghilangkan kemampuan : gila, tidur, pingsan, dan meninggal dunia. Orang yang
mempunyai salah satu dari halangan 4 macam tersebut adalah tidak mempunyai
kemampuan bertindak sama sekali. Adapun kepantasan menerima hak dan kewajiban
yang berhubungan dengan kebendaan bagi orang gila dilakukan oleh walinya.
Sedangkan kepantasan menerima hak dan kewajiban badaniah bagi orang yang sedang
tidur dan pingsan diselesaikan sendiri setelah ia bangun atau sadar kembali.
2)
Dapat
mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi tidak sampai menghilang sama sekali.
Seperti orang yang kurang akal. Taraf kekurangan akal itu bermacam-macam. Ada
yang sedikit da nada yang sedang. Atas dasar sedikit atau banyaknya kekurangan
akal itu, maka transaksi-transaksi yang dilakukan oleh orang yang kurang akal
itu ada yang disamakan dengan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh anak yang
khair mumayyiz da nada yang disamakan dengan transaksi yang dilakukan oleh anak
yang mumayyiz.
3)
Tidak
mempunyai pengaruh untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak,
akan tetapi luarnya merubah ketentuan hukum. Halangan –halangan yang termasuk
golongan ini ialah: boros, lalai(khotho), lupa(nisyan), sakit, menstruasi,
nifas, mabuk, bepergian, gurauan dan kebodohan.
Pemborosan(safih) adalah
termasuk orang yang sempurna akalnya, biarpun segala transaksi yang berhubungan
dengan keuangan yang dilakukan didorong oleh kemauan hawa nafsu.
Lupa, yakni tidak ingin
sesuatu yang telah ditangkapnya sewaktu diperlukannya, dan lalai, yakni sesuatu
yang dikerjakan berbeda dengan apa yang dimaksudkan, adalah tindakan yang
menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan hak sesama manusia tidak dapat dianggap suatu udzur.
Menstruasi dan nifas tidak
menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’.Akan tetapi syara’ menjadikan
keduanya sebagai sebab gugurnya melakukan puasa karena itu kedua orang yang
sedang menstruasi dan nifas wajib mengqadanya setelah mereka suci, tanpa dosa
sedikit pun.
Mabuk tidak menghilangkan
ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ tetapi hanya merubah beberapa ketentuan
hukum baginya.
Bergurau, mengeluarkan
pembicaraan secara sadar dan memahami artinya, tetapi tidak menghendaki apa
yang dimaksud oleh pembicaran itu , adalah tidak menghilangkan ahliyatul wujub
dan ahliyatul ada’ , tetapi hanya merubah beberapa ketentuan hukumnya.
Kebodohan(tidak mengetahui
sesuatu) tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ hanya
ketidaktahuan itu ada yang menjadiakan keudzuran bagi seorang dan pula yang tidak menjadikan ke’udzuran.
Ketindaktahuan yang dianggap
sebagai udzur adalah ketidaktahuan karena adanya keserupaan diantara ketentuan
atau karena ketiadaan dalil yang jelas.
Perkasaan, (ikrah) baik
paksaan dengan kekerasaan maupun tidak dengan kekerasan tidak menghilangkan
ahliyatul wujub dan ahliyyatul ada’.Hanya saja paksaan dengan kekerasan itu
menghilangkan kerelaan dan ikhtiar dan paksaan yang tidak dengan kekerasan itu
tidak sampai menghilangkan kerelaan dan ikhtiar.
Tasharruf(transaksi)
itu ditinjau dari segi pengaruh paksaan padanya terbagi menjadi dua bagian.
1.
Tasharruf
(taransaksi) gauliyah (yang berhubungan dengan ucapan). Pada transaksi ini
pengaruh paksaan tidak dibedakan apakah paksaan itu dengan kekerasan atau
tidak, akan tetapi pengaruhnya dibedakan oleh jenis-jenis transaksi qauliah
tersebut. Misalnya pada teransaksi qauliyah yang berupa pengakuan(ikrar), maka
batallah pengakuan yang karena paksaan, sebagi mana halnya karena
bergurau(main-main).
2.
Tasharruf
fi’liyah(yang berhubungan dengan tindakan). Pada teransaksi ini apabila paksaan
itu tidak dengan kekerasaan, maka akibatnya akan diterima oleh orang yang
memaksanya. Sedang apabila paksaan itu dengan kekerasan dan perbuatan yang
dipaksakan itu termasuk perbuatan yang diperbolehkan oleh syariat untuk
dilakukannya dalam keadaan darurat, seperti meminum khamar, makan daging babi,
maka orang yang dipaksa tidak berdosa melakukannya. [11]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mahkum alaih adalah seseorang
yang perbuatannya dikenai khithab allah ta’ala yang disebut mukallaf. Dalam
islam, orang yang tekena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk
mengerjakan tindakan hukum. Ulama ushul figh telah sepakat bahwa seorang
mukallaf dapat dikenai taklif jika telah memenuhi dua syarat, yaitu:(a) orang
itu telah memahami khithab syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam
al-qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; dan (b)
seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul figh disebut ahlun li
al-taklif.
Ahliyyah adalah suatu sifat
yang memiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’I untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tututan syara’. Ahliyyah terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu(1) ahliyyah al-ada’ yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, bagi yang bersifat positif maupun negative , dan(2) ahliyyah
al-wajib, yaitu sifat dan kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang
menjadi haknya tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
B.
Kritik dan
saran
Jika di dalam makalah ini ada terdapat kesalahan
penulisan saya harap bagi pembaca agar memberikan kritik atau saran dalam
penulisan, karena tidak semuanya didalam
makalah ini sempurna dalam penulisan. Dengan adanya kritik dan saran pembaca,
saya dapat membangun atau memperbaiki penulisan dalam makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’I,rachmat,
ilmu ushul figh, bandung, pustaka setia, 1998
Syarifuddin,amir,
ushul figh, Jakarta: prenada media group, 2008
Nasroen
haroen, ushul figh, cet:1, 1997 jakarta:
logos wacana ilmu
Andewi
suhartini, ushul figh, cet:2 2012 jakata
Prof.dr.mukhtar
yahya dan prof. Drs .fatchur Rahman.
Dasar dasar Pembina figh islam
Cet:10 ,bandung, alma’rif,1986
Prof.dr.abdul
wahab khallaf,ilmu ushul figh,Jakarta:pustaka Amani,2003
[1]. Amir syarifuddin,2008:389
[2]Rachmat syafe’I,1999:334
[3]Prof.dr abdul wahhab
khallaf,cet:11,hal:188
[4]Andewi suhartini,cet 2 tahun 2012
hal; 67
[5]Rachmat syafe’I,1999;336
[6]Amir syarifuddin,2008:390
[7]Amir syarifuddin,2008;396-399
[8]Andewi suhartini,cet 2 tahun
2012,hal 69
[9]H.nasroen haroen. Op cit hal 308
[10]Rachmat syaf’I, 1999:343
[11]Prof.dr mukhar yahya dan
prof.dr.fachur Rahman hal:170
Post a Comment