Selamat datang Iskandar Menulis.Com

Featured post

Membangun Hubungan Interpersonal Antara Pustakawan Dan Pemustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Konsep perpustakaan sebagai sebuah kesatuan organisasi yang terstuktur dalam tujuanya m...

MAKALAH MAHKUM ALAIH

Tuesday, 6 January 20150 comments




                                                                      Bab II
pembahasan
                                                                                                
1.pengertian mahkum’Alaih
Mahkum’Alaih adalah orang yang kepadanya di perlakukan hukum. Ulama ushul figh telah sepakat bahwa mahkum’alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab Allah ta’ala,yang di sebut mukallaf. Dengan kata lain,orang yang di tuntut oleh allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah di pehitungan berdasarkan tuntutan Allah.[1]
Dari segi Bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul figh, mukallaf disebut juga mahkum’alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak  hukum, baik yang berhubungan dengan perintah allah maupun dengan larangannya. Semua tindakkan hukum yang dilakukan mukallaf akan di minta pertanggung jawabanya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah allah, dan sebaliknya bila mengerjakan larangan Allah, ia akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan nya,di samping tidak memenuhi kewajibannya.[2]
Seorang mukallaf dianggap sah menanggung beban beban menurut syara’ harus memenuhi dua syarat:
Pertama: mukallaf mampu memahami dalil taklif(pembebanan). Seperti jika dia mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan kepadanya dari al-qur’an  dan as Sunnah secara langsung atau dengan perantaran . karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklif, tentu dia tidak dapat melaksanakan tututan itu dan tujuan pembebanan tidak akan tercapai. Kemampuan memahami dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal. Sedangkan nash yang dibebankan kepada orang-orang yang berakal, hanya dapat dipahami akal mereka. Karna akal adalah alat memahami dan menemukan, dan dengan akal suatu keinginan itu dapat diarahkan untuk mengikuti. Namun, karena akal  adalah sesuatu yang samar yang tidak dapat diketahui oleh indera lahir, maka syari’ mengikat pembebanan itu dengan sesuatu yang diketahui oleh indera, yaitu tempat dugaan akal, yakni usia baligh(dewasa). Siapa yang sampai masa baligh tanpa ada tanda-tanda kerusakan pada kekuatan akalnya,maka dia dianggap mampu untuk diberi beban hukum.oleh karna itu orang gila, anak kecil, tidak diboleh diberi beban, karena tidak mempunyai akal sebagai saran memahami dalil taklif.
Kedua: mukallaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli menurut Bahasa artinya layak dan pantas, seperti jika dikatakan: si polan ahli dalam memelihara wakaf, artinya layak dan pantas baginya.
Sedangkan menurut istilah ulama ushul figh, keahliannya itu terbagi menjadi dua:keahlian wajib dan keahlian melaksanakan.
Keahlian wajib adalah kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban. Dasarnya adalah sesuatu yang diciptakan allah swt. Pada manusia dan dapat yang mendapatkan hak dan menerima kewajiban. Keistimewaan ini oleh ulama figh disebut adz dzimmah adalah sifat naluri manusia yang dengan itu ia menerima hak bagi orang lain dan kewajiban untuk orang lain pula.
Keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia, dengan keadaan bahwa ia adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berupa janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai atau bodoh, berakal atau gila, sehat maupun sakit maupun sakit. Karena kelayakan ini disarankan pada keistimewaan alami pada manusia.Setiap manusia, yang mana saja mempunyai kelayakan wajib.Tidak ada manusia yang tidak memiliki keahlian wajib, karena keahlian wajib itu adalah sifat ke’’manusia’’annya.
Sedangkan keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatannya perhitungkan menurut syara’ .artinya, jika ucapan atau perbuatan itu menimbulkan akad atau pengelolaan, maka akan diperhitungkan menurut syara’  dan akan berakibat hukum. Jika ia melaksanakan shalat, puasa, haji atau melaksanakan suatu kewajiban, maka yang dilakukan itu di perhitungkan oleh syara’ dan gugurlah kewajiban itu baginya. Jika ia melakukan kriminal atas jiwa, harta atau harga diri orang lain, maka ia berdosa  akibat tindakannya dan diberikan hukuman fisik atau hartanya. Keahlian melaksanakan inilah yang di minta pertanggunganjawaban.Dasar yang ada pada manusia adalah kemampuan membedakan dengan akal.[3]
2.taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak heran jika sebagian besar ulama ushul figh pemahaman.[4]
Ulama ushul figh telah sepakat bahwa seseorang mukallaf dapat di kenai taklif jika telah  memenuhi dua syarat,yaitu:
A.orang yang telah memahami khithab syara’(tuntutan hukum) yang terkandung dalam al-qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif tidak dapat di capai kecuali akal manusia,karena hanya akallah yang dapat hanya mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau di tinggalkan. Namu demikian, karena akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan berbeda antara satu dengan yang lainnya,maka syar’menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkret(jelas) dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah balighnya seseorang. Penentuan bahwa  seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani  bagi pria melalui mimpiyang pertama kali, atau telah sempurna umur lima belas tahun[5]
B.seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul figh disebut ahlunli al-taklifi.kecakapan menerima taklif atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah kepantasan  untuk menerima taklif. [6]
Selanjutnya dipermasalahkan, apakah ’’ islam’’ merupakan syarat untuk dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain, apakah non muslim dengan kekafirannya dituntut untuk melakukan beban hukum atau tidak. Dalam hal ini dapat perbedaan pendapat para ulama.
Pertama,imam syafi’I,ulama Iraq yang bermadzhab hanafi dan mayoritas ulama dikalangan mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan tutaklif dengan tercapainya syar’I mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan syari’at ,seperti ibadah shalat,puasa dan haji.artinya,meskipun mereka tidak sah niatnya karna tidak beriman, namun mereka  dituntut untuk melaksanakan ibadah itu sebagaimana terhadap mukallaf lainnya.
Kedua,pendapat dari sebagian ulama hanafiyah, abuishak  al-asfahani, sebagian kelompok syafi’iyah dan sebagian ulama mu’tazilah menyatakan bahwa orang kafir itu tidak dikenai taklif untuk melaksanakan ibadah, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhnya syarat syar’I sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu.
Ketiga,kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melakukan perbuatan yang disuruh  diperlakukan niat;sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat tidak diperlakukan niat.[7]
3.ahliyyah
Secara harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya yang memiliki kemampuan  dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna  jasmani dan akalnya, seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demi kian, jual belinya, hibbahnya dan lain-lain dianggap sah.Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.[8]

Pembagian ahliyyah
Para ulama membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu: ahliyyah al-ada’ dan al-wujud
-ahliyyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negative. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ maka ia dianggap telah memenuhi kewajibannya,dan untuk itu ia diberi pahala. Apabila ia melanggar tuntutan syara’maka ia berdosa. Karna itu ,ia telah cakap untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
1.ahliyyah al-ada’ al-kamilah.
Yaitu seseorang semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun.Dalam batas umur ini, seseorang belum sempurna akalnya.Sedangkan taklif itu dikaitkan dengan sifat berakal. Karna itu seseorang batas umur ini belum disebut mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum.perbuatan dan ucapannya pun tidak mempunyai akibat hukum,karena itu transaksi yang dilakukannya tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
2.ahliyyah al-ada’ al-nagishah.
Yaitu seseorang yang telah mencapai umur tamyiz sampai batas dewasa.Maksudnya lemah dalam bentuk berikut ini, karena akibatnya memang masih lemah dan belum sempurna.Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna seseorang yang dalam batas umur ini hubungannya dengan hukum, bahwa sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.
Sehingga ucapan dan perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai akibat hukum tersendiri yaitu:
1.tindakan yang semata-mata menguntung kepadanya.
Misalnya:menerima pemberian(hibah) dan wasiat. Semua perbuatan dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan wali.
2.tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya.
Misalnya:pemberian yang dilakukan, baik dalam bentuk hibah atau sadaqah,pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak pantas. Segala perbuatan tersebut, baik ucapan maupun perbuatan yang dilakukan  adalah tidak sah dan tidak berakibat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
3.tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian,jual beli,sewa-menyewa, upah-mengupah atau lainnya yang disatu pihak mengurangi haknya dan di pihak lainnya menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukan tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahannya tergantung pada persetujuannya yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
-ahliyyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan kewajiban haknya,tetapi belum cukup untuk di bebani seluruh kewajibannya.
Misalnya,apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyyah al-wujud, maka yang disebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya dirusak orang lain,maka dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam harta warisan .ia dianggap cakap untuk menerima harta warisan dari keluarga yang meninggal dunia.
Para ulama ushul figh juga membagi ahliyyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
1.ahliyyah al-wujud al-naqisah.
Yaitu ketika seseorang itu masih berada kandungan ibunya(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah al-wujud yang belum sempurna,karna hak-hak ia harus ia terima belum dapat menjadi miliknya. Sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat,walau hanya untuk sesaat apabila ia telah lahir,maka hak-hak yang di terima menjadi miliknya
2.ahliyyah al-wujud al-kamilah .
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun masih kurang,seperti orang gila.
Dalam status ahliyyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak dibebani tuntutan syara’baik yang bersifat ibadah seperti shalat dan puasa (yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.[9]
4.halangan(‘awaridl)ahliyyah
Ulama Ushul menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut :
A.awaridh al-samawiyah, yaitu halangan yang datang dari allah bukan disebabkan  perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut(sakit yang berlanjut dengan kematian ), dan lupa.
B.awaridh al-muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di bawah penganpunan.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya. Oleh karna itu, mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk, yaitu:
A.      Halangan yang dapat menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, dan terpaksa.
B.      Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapan dalam bertindak hukum. Tindakan hukum yang sifat nya bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
C.      Halangan yang bersifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang berutang, pailit, di bawah pengapunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat tersebut, sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang. Tetapi beberapa tindakan hukuman yang berkaitan dengan masalah harta di batasi. Hal ini itu dimaksudkan untuk kemashlahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang.[10]

5. hal-hal yang menghilangkan kemampuan bertindak
Di muka telah diterangkan bahwa setiap manusia itu mempunyai ahliyatul al-wujud (kepantasan menerima hak dan kewajiban) baik laki-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun belum dewasa, baik sehat maupun gila dan biarpun ahliyatul al-wujub itu naqis(kurang sempurna) maupun kamil  ( sempurna). Juga telah dijelaskan juga bahwa setiap dewasa itu mempunyai ahliyatul ada’(kemampuan bertindak) yang sempurna. Akan ttapi ahliyatul ada’ ini kadang-kadang berhadapan dengan hal-hal yang dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali, atau mengurangi nya atau tidak dapat menghilangkan atau menguranginya, tetapi hanya merubah sebagian hukum dari tindakan tersebut.
Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak, yang disebut AWARIDHUL-AHLIYAH itu ada dua macam .yakni ‘’samawiyah dan kasabiyah’’
Yang disebut halangan samawiyah ialah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiyar manusia.Halangan samawiyah itu ada 10 macam. Yakni:
1.      Keadaan belum dewasa
2.      Sakit gila
3.      Kurang akal
4.      Keadaan tidur
5.      Pingsan
6.      Lupa
7.      Sakit
8.      Menstruasi
9.      Nifas dan
10.  Meninggal dunia
Yang disebut halangan kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak.Halangan kasabiyah itu ada 7 macam. Yakni:
1.      Boros
2.      Mabuk
3.      Bepergian
4.      Lalai
5.      Bergurauan(main-main)
6.      Bodoh(tidak mengetahui) dan
7.      terpaksa
halangan-halangan yang menimpa kepada kemampuan bertindak itu mempunyai daya kekuatan yang berbeda-beda.
1)      Dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali. Halangan-halangan yang dapat menghilangkan kemampuan : gila, tidur, pingsan, dan meninggal dunia. Orang yang mempunyai salah satu dari halangan 4 macam tersebut adalah tidak mempunyai kemampuan bertindak sama sekali. Adapun kepantasan menerima hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kebendaan bagi orang gila dilakukan oleh walinya. Sedangkan kepantasan menerima hak dan kewajiban badaniah bagi orang yang sedang tidur dan pingsan diselesaikan sendiri setelah ia bangun atau sadar kembali.
2)      Dapat mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi tidak sampai menghilang sama sekali. Seperti orang yang kurang akal. Taraf kekurangan akal itu bermacam-macam. Ada yang sedikit da nada yang sedang. Atas dasar sedikit atau banyaknya kekurangan akal itu, maka transaksi-transaksi yang dilakukan oleh orang yang kurang akal itu ada yang disamakan dengan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh anak yang khair mumayyiz da nada yang disamakan dengan transaksi yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz.
3)      Tidak mempunyai pengaruh untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi luarnya merubah ketentuan hukum. Halangan –halangan yang termasuk golongan ini ialah: boros, lalai(khotho), lupa(nisyan), sakit, menstruasi, nifas, mabuk, bepergian, gurauan dan kebodohan.
Pemborosan(safih) adalah termasuk orang yang sempurna akalnya, biarpun segala transaksi yang berhubungan dengan keuangan yang dilakukan didorong oleh kemauan hawa nafsu.
Lupa, yakni tidak ingin sesuatu yang telah ditangkapnya sewaktu diperlukannya, dan lalai, yakni sesuatu yang dikerjakan berbeda dengan apa yang dimaksudkan, adalah tindakan yang menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak sesama manusia tidak dapat dianggap suatu udzur.
Menstruasi dan nifas tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’.Akan tetapi syara’ menjadikan keduanya sebagai sebab gugurnya melakukan puasa karena itu kedua orang yang sedang menstruasi dan nifas wajib mengqadanya setelah mereka suci, tanpa dosa sedikit pun.
Mabuk tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ tetapi hanya merubah beberapa ketentuan hukum baginya.
Bergurau, mengeluarkan pembicaraan secara sadar dan memahami artinya, tetapi tidak menghendaki apa yang dimaksud oleh pembicaran itu , adalah tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ , tetapi hanya merubah beberapa ketentuan hukumnya.
Kebodohan(tidak mengetahui sesuatu) tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ hanya ketidaktahuan itu ada yang menjadiakan keudzuran bagi seorang  dan pula yang tidak menjadikan ke’udzuran.
Ketindaktahuan yang dianggap sebagai udzur adalah ketidaktahuan karena adanya keserupaan diantara ketentuan atau karena ketiadaan dalil yang jelas.
Perkasaan, (ikrah) baik paksaan dengan kekerasaan maupun tidak dengan kekerasan tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyyatul ada’.Hanya saja paksaan dengan kekerasan itu menghilangkan kerelaan dan ikhtiar dan paksaan yang tidak dengan kekerasan itu tidak sampai menghilangkan kerelaan dan ikhtiar.
Tasharruf(transaksi) itu ditinjau dari segi pengaruh paksaan padanya terbagi menjadi dua bagian.
1.      Tasharruf (taransaksi) gauliyah (yang berhubungan dengan ucapan). Pada transaksi ini pengaruh paksaan tidak dibedakan apakah paksaan itu dengan kekerasan atau tidak, akan tetapi pengaruhnya dibedakan oleh jenis-jenis transaksi qauliah tersebut. Misalnya pada teransaksi qauliyah yang berupa pengakuan(ikrar), maka batallah pengakuan yang karena paksaan, sebagi mana halnya karena bergurau(main-main).
2.      Tasharruf fi’liyah(yang berhubungan dengan tindakan). Pada teransaksi ini apabila paksaan itu tidak dengan kekerasaan, maka akibatnya akan diterima oleh orang yang memaksanya. Sedang apabila paksaan itu dengan kekerasan dan perbuatan yang dipaksakan itu termasuk perbuatan yang diperbolehkan oleh syariat untuk dilakukannya dalam keadaan darurat, seperti meminum khamar, makan daging babi, maka orang yang dipaksa tidak berdosa melakukannya. [11]




















BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab allah ta’ala yang disebut mukallaf. Dalam islam, orang yang tekena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Ulama ushul figh telah sepakat bahwa seorang mukallaf dapat dikenai taklif jika telah memenuhi dua syarat, yaitu:(a) orang itu telah memahami khithab syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain; dan (b) seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul figh disebut ahlun li al-taklif.
Ahliyyah adalah suatu sifat yang memiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’I untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tututan syara’. Ahliyyah terbagi menjadi dua bentuk, yaitu(1) ahliyyah al-ada’ yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, bagi yang bersifat positif maupun negative , dan(2) ahliyyah al-wajib, yaitu sifat dan kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
B.      Kritik dan saran
Jika di dalam makalah ini ada terdapat kesalahan penulisan saya harap bagi pembaca agar memberikan kritik atau saran dalam penulisan, karena tidak semuanya  didalam makalah ini sempurna dalam penulisan. Dengan adanya kritik dan saran pembaca, saya dapat membangun atau memperbaiki penulisan dalam makalah ini.







DAFTAR PUSTAKA

Syafe’I,rachmat, ilmu ushul figh, bandung, pustaka setia, 1998
Syarifuddin,amir, ushul figh, Jakarta: prenada media group, 2008
Nasroen haroen, ushul figh,  cet:1, 1997 jakarta: logos wacana ilmu
Andewi suhartini, ushul figh, cet:2 2012 jakata
Prof.dr.mukhtar yahya dan prof. Drs .fatchur Rahman.  Dasar  dasar Pembina figh islam Cet:10 ,bandung, alma’rif,1986
Prof.dr.abdul wahab khallaf,ilmu ushul figh,Jakarta:pustaka Amani,2003


[1]. Amir syarifuddin,2008:389
[2]Rachmat syafe’I,1999:334
[3]Prof.dr abdul wahhab khallaf,cet:11,hal:188
[4]Andewi suhartini,cet 2 tahun 2012 hal; 67
[5]Rachmat syafe’I,1999;336
[6]Amir syarifuddin,2008:390
[7]Amir syarifuddin,2008;396-399
[8]Andewi suhartini,cet 2 tahun 2012,hal 69
[9]H.nasroen haroen. Op cit hal 308
[10]Rachmat syaf’I, 1999:343
[11]Prof.dr mukhar yahya dan prof.dr.fachur Rahman hal:170
Share this article :

Post a Comment

 
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger