BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
diketahui, setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa mengalami suatu
perubahan sosial. Perubahan sosial pada manusia mempunyai kepentingan yang tak
terbatas. Perubahan akan tampak setelah tatanan dan kehidupan masyarakat yang
lama dapat dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru.
Perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat turut mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Perubahan itu dapat terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, tingkah laku
termasuk pada hidupnya. Perubahan-perubahan
masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial norma-norma sosial, pola-pola
perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan wewenang interaksi sosial. Oleh karena itu
Perubahan
merupakan sebuah kewajaran dan berlangsung dalam kurung waktu tertentu dan
manusia tidak akan mempu menghindarkan diri dari perubahan itu bahkan manusia
dituntut untuk selalu mengalami perubahan disegala bidang, tidak hanya dalam
bidang sosial dan budaya, tetapi juga dalam bidang politik, hukum dan
pemerintahan, serta masih banyak lainnya. Namun setiap perubahan yang terjadi
tetap memberikan konsekuensi bagi kelangsungan hidup manusia dalam bermasyakat
baik berupa negatif maupun efek positif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan perubahan
sosial?
2.
Bagaimana pengaruh perubahan sosial
terhadap pembangunan dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan
Sosial
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan
masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga
menjadi semakin rasional, perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi
menjadi makin komersial, perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin
ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam,perubahan
dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis, perubahan
dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan
lain-lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli ilmu sosial yang
dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka tentang perubahan sosial, yaitu
suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian yang terjadi
dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola perilaku
kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta
kelembagaan-kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun
nonmateri.
B. Bentuk-bentuk
Perubahan Sosial
Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka
perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan
sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang berlangsung lambat (evolusi) dan
ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau besar
pengaruhnya luas dan dalam, serta ada pengaruhnya relatif kecil terhadap
kehidupan masyarakat. Dan yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses
terjadinya, ada yang direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang
tidak direncanakan (unplanned).
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat
terjadi setelah memulai proses perkembangan masyarakat yang panjang dan lama,
yang disebut dengan proses evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang
berlangsung begitu cepat, yang disebut dengan revolusi.
Adapun menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan
masyarakat, ada perubahan sosial yang terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh
yang luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Namun
sebaliknya ada pula perubahan sosial yang berskala kecil dalam arti pengaruhnya
terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Sementara itu menurut proses terjadinya, ada
perubahan sosial yang memang dari semula direncanakan atau dikehendaki.
Misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial. Namun ada pula yang
tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan.
C. Aspek-aspek
Perubahan Sosial
Aspek-aspek perubahan sosial dapat dibahas dalam dua
dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang
terdiri dari aspek material, aspek norma-norma (norms) dan aspek nilai-nilai
(values). Kedua, aspek yang dikaitkan dengan bidang-bidang kehidupan sosial
masyarakat, yang dalam kegiatan belajar ini dikemukakan bidang kehidupan
ekonomi, bidang kehidupan keluarga, dan lembaga-lembaga masyarakat.
Aspek kebudayaan material (artifacts) adalah
aspek-aspek yang sifatnya material dan dapat diraba atau dilihat secara nyata,
seperti pakaian, alat-alat kerja, dan sebagainya. Karena sifatnya material,
maka aspek kebudayaan ini relatif cepat berubah
Adapun aspek norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah
atau norma-norma sosial yang mengatur interaksi antara semua warga masyarakat.
Aspek ini relatif lebih lambat berubah dibandingkan dengan aspek kebudayaan
material.
Aspek lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang
berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi pandangan atau falsafah hidup
masyarakat. Nilai-nilai inilah yang mendasari norma-norma sosial yang menjadi
kaidah interaksi antar warga masyarakat. Aspek nilai inilah paling lambat
berubah dibandingkan dengan kedua aspek kebudayaan yang disebut terdahulu.
Perubahan sosial dalam bidang ekonomi pada dasarnya
menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat dalam
upaya mereka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, baik perubahan
dalam nilai-nilai ekonomi, sikap, hubungan ekonomi dengan warga lainnya, maupun
dalam cara atau alat-alat yang dipergunakan. Salah satu kunci dalam perubahan
bidang ekonomi ini adalah proses “diferensiasi” dan spesialisasi”.
Dalam aspek kehidupan keluarga, yang menjadi fokus
perhatian adalah perubahan fungsi dan peranan keluarga dalam kaitannya dengan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan dalam struktur dan jumlah
anggota keluarga mendorong terjadinya perubahan fungsi dan peranan keluarga.
Salah satu aspek kehidupan keluarga yang paling jelas perubahannya adalah
peranan kaum ibu.
Adapun dalam aspek lembaga-lembaga masyarakat,
perubahan sosial pada dasarnya berkembang, dari suasana kehidupan masyarakat
tradisional dengan lembaga-lembaga masyarakat yang jumlah dan sifatnya masih
sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan kegotongroyongan dan
kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modern dengan lembaga-lembaga
masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk atas dasar
kepentingan warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, serta
dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan.
D. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perubahan Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial
terdiri atas faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor
internal yakni kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini
yang mencakup terutama faktor demografis (kependudukan), faktor adanya
penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal dalam masyarakat.
Faktor-faktor Demografis adalah semua perkembangan
yang berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup jumlah,
kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru,
adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga masyarakat berkaitan dengan
suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh
masyarakat, dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka.
Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di
kalangan warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya
perbedaan kepentingan atau perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh
masing-masing kelompok.
Adapun Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau
perkembangan yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan,
tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial
dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam faktor eksternal, yang terpenting di
antaranya adalah pengaruh lingkungan alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun
aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan yang
mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa
lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di
kalangan bangsa yang kalah perang.
E. Perubahan
Sosial dan Pembangunan Hukum
Pembangunan
hukum sehubungan dengan rencana pembaruan hokum nasional tersebut pada umumnya
hanya dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan legislasi, yakni melahirkan
undang-undang baru (statutory law). Peranan Mahkamah Agung (MA) dalam hal ini
jelas hampir tidak ada samasekali. Jika pasal 37 UU No 14 Tahun 1970 tentang MA
ditafsirkan secara luas dan dengan baik - MA dapat memberi pendapat tentang RUU
dengan diminta atau tidak diminta oleh pemerintah dan/atau DPR.
Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung
dua arti. Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi hukum).
Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut
mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang
membangun. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, 1979). Jadi,
pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja,
melainkan pada upaya menjadikan hukum alat rekayasa sosial (social
engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, "definisi"
pembangunan hukum adalah "mewujudkan fungsi dan peran hukum di
tengah-tengah masyarakat". Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai
kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai
alat rekayasa sosial (social engineering).
Tetapi yang kita saksikan dan alami akhir-akhir ini
jauh berbeda dari rumusan tersebut. Kontrol sosial adalah "proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi agar orang-orang bertingkah laku sesuai dengan
yang diharapkan masyarakat". Karena itu hukum perlu "bening dan
jernih" - tidak terombang-ambing oleh berbagai kepentingan. Hukum harus
sedemikian "dingin"-nya sehingga ia kuat menghadapi berbagai bujukandan
imbauan. Bila ada kasus rumit yang menyebabkan bertindihannya berbagai
kepentingan, bukan UU dan ketentuan-ketentuan itu yang dapat
dibengkok-bengkokkan, melainkan sebaliknya. Perkara itu yang harus bisa
"dimasukkan" ke dalam pasal-pasalnya sehingga dapat diputus.
Pada masyarakat modern, sengketa-sengketa lebih
sering (lebih aman)diselesaikan lewat jalur hukum (pengadilan). Secara teori,
perkembangan sosial masyarakat (social development) merupakan salah satu faktor
yang ikut mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk menyelesaikan konflik
lewat pengadilan. Kepercayaan masyarakat kepada pilihannya ini makin besar bila
penyelesaian tersebut memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena itu, keputusan
pengadilan yang berkekuatan hukum harus dipatuhi atau dieksekusi.
Kepastian hukum adalah unsur penting dalam upaya
membangun kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Arti
kepastian hukum adalah hukum yang dijalankan sebagaimana mestinya dengan tegas,
konsekuen, dan tanpa pilih kasih. Kalau keadaan ini tercapai, berarti orang
dapat memastikan atau meramalkan bahwa setiap pelanggaran hukum dapat diganjar
sesuai dengan ketentuan yang ada, dan orang yang dirugikan baik oleh pribadi,
kelompok, atau negara akan mendapat ganti rugi. Dengan kata lain pengadilan
beserta aparat hukum lainnya harus benar-benar menerapkan hukum secara
konsisten, tanpa pilih kasih, serta sesuai dengan rasa adil masyarakat
F. Perubahan
Sosial dan Pembangunan Politik
Kegiatan belajar ini menjelaskan peranan legislator
bahwa dengan semakin terbukanya informasi di berbagai belahan dunia, maka
dengan mudah masyarakat dapat membandingkan keadaan (penyaluran aspirasi) yang
dialaminya dengan kejadian di belahan dunia lain. Secara ideal, penyaluran
aspirasi masyarakat yang demikian lancar kepada wakil-wakilnya di parlemen di
tempat lain dapat menjadi pelajaran bagi wakil-wakil kita di DPR/DPRD, namun
berbagai bukti yang ada menunjukkan bahwa salah satu wujud dari penerapan good
governance seperti itu, belum menjalar ke negara kita. Berdasarkan kondisi ini,
maka dipandang perlu bahwa pembangunan di bidang politik, antara lain
diperlukan pemberdayaan (peningkatan kualitas) kepada DPR/DPRD adalah suatu
yang mendesak di Tanah Air .
Beriringan dengan meningkatnya jumlah penduduk di
Tanah Air, menyebabkan semakin banyak pula anggota masyarakat yang menggunakan
hak pilihnya. Perubahan yang terjadi berkaitan dengan aspek ini adalah ketika
pemilu pertama 1955, hanya 37,7 juta anggota masyarakat yang ikut dalam pemilu,
kemudian mengalami perubahan menjadi 113.1 juta yang diwakili oleh 550 oleh
anggota DPR tahun 2004. Hal ini berarti bahwa masyarakat Indonesia semakin
menyimpan banyak harapan kepada wakil-wakilnya di DPR. Pertanyaannya kemudian
adalah bagaimana harapan itu jika dikaitkan dengan konsep good governance.
Kelihatan bahwa konsep good governance sesungguhnya
telah kita miliki secara fomal. Misalnya, dalam pasal 42 s/d pasal 45 UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan mengenai substansi
good governance yang harus dilakukan oleh anggota parlemen. Pertanyaannya
kemudian adalah mengapa ketentuan itu lebih bernuansa formalitas ketimbang
prakteknya di lapangan.
G. Perubahan
Sosial dan Pembangunan Birokrasi Pemerintahan
Uraian kegiatan belajar ini antara lain dijelaskan
tentang model birokrasi klasik yang antara lain disponsori oleh Max Weber yang
didasarkan pada beberapa prinsip, antara lain: hierarki, peraturan yang
konsisten, formalistik, impersonality dan sistem sentralisasi. Pada
perkembangan selanjutnya, ternyata berbagai prinsip dari birokrasi klasik
tersebut, telah banyak mendapat kritikan dari ahli-ahli ilmu sosial itu
sendiri. Kritik yang tajam, antara lain adalah berbagai prinsip birokrasi
klasik telah wafat. Banyak aspek yang kurang diperhitungkan di dalam ajarannya,
seperti: proses kematangan pada diri birokrat, dan manfaat dari terjadinya
hubungan informal, justru dilarang oleh ajaran Weber. Kemudian para ahli
melahirkan konsep yang disebutnya sebagai paradigma baru birokrasi.
Antara lain, Osborne dan Gaebler mengidentifikasi
karakteristik “paradigma baru” birokrasi ini dalam “Mewirausahakan Birokrasi”
yang pada substansinya ditekankan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik
terjadi, apabila birokrat lebih bersifat: mengarahkan, memberikan wewenang
(desentralisasi), menciptakan persaingan dalam pemberian pelayanan, organisasi
lebih digerakkan oleh misi, lebih berorientasi kepada pembiayaan hasil,
orientasi menghasilkan, mencegah timbulnya masalah, dan lebih berorientasi
kepada pasar. Paradigma baru birokrasi ini, nampaknya banyak mewarnai secara
formal pembangunan nasional, termasuk pembangunan sosial yang dituangkan dalam
UU No. 22 Tahun 1999, kemudian ditarik kembali dengan dimunculkannya UU 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Substansi ini terlihat dari
pasal-pasalnya, dan lebih tegas lagi dicantumkan di dalam berbagai butir yang
menjadi dasar pertimbangan ditetapkannya kedua UU tersebut.
Post a Comment