Selamat datang Iskandar Menulis.Com

Featured post

Membangun Hubungan Interpersonal Antara Pustakawan Dan Pemustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Konsep perpustakaan sebagai sebuah kesatuan organisasi yang terstuktur dalam tujuanya m...

MAKALAH PERUBAHAN SOSIAL

Tuesday, 6 January 20150 comments



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seperti diketahui, setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa mengalami suatu perubahan sosial. Perubahan sosial pada manusia mempunyai kepentingan yang tak terbatas. Perubahan akan tampak setelah tatanan dan kehidupan masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat turut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, tingkah laku termasuk pada hidupnya. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang interaksi sosial. Oleh karena itu
Perubahan merupakan sebuah kewajaran dan berlangsung dalam kurung waktu tertentu dan manusia tidak akan mempu menghindarkan diri dari perubahan itu bahkan manusia dituntut untuk selalu mengalami perubahan disegala bidang, tidak hanya dalam bidang sosial dan budaya, tetapi juga dalam bidang politik, hukum dan pemerintahan, serta masih banyak lainnya. Namun setiap perubahan yang terjadi tetap memberikan konsekuensi bagi kelangsungan hidup manusia dalam bermasyakat baik berupa negatif maupun efek positif.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial?
2.      Bagaimana pengaruh perubahan sosial terhadap pembangunan dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perubahan Sosial
Perubahan sosial dialami oleh setiap masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berpikir dan interaksi sesama warga menjadi semakin rasional, perubahan dalam sikap dan orientasi kehidupan ekonomi menjadi makin komersial, perubahan tata cara kerja sehari-hari yang makin ditandai dengan pembagian kerja pada spesialisasi kegiatan yang makin tajam,perubahan dalam kelembagaan dan kepemimpinan masyarakat yang makin demokratis, perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang makin modern dan efisien, dan lain-lainnya.
Dari beberapa pendapat ahli ilmu sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka tentang perubahan sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmateri.

B.     Bentuk-bentuk Perubahan Sosial
Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga dimensi atau bentuk, yaitu: perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau besar pengaruhnya luas dan dalam, serta ada pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan masyarakat. Dan yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah memulai proses perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, yang disebut dengan proses evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat, yang disebut dengan revolusi.
Adapun menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, ada perubahan sosial yang terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh yang luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Namun sebaliknya ada pula perubahan sosial yang berskala kecil dalam arti pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Sementara itu menurut proses terjadinya, ada perubahan sosial yang memang dari semula direncanakan atau dikehendaki. Misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial. Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan.

C.     Aspek-aspek Perubahan Sosial
Aspek-aspek perubahan sosial dapat dibahas dalam dua dimensi. Pertama, aspek yang dikaitkan dengan lapisan-lapisan kebudayaan yang terdiri dari aspek material, aspek norma-norma (norms) dan aspek nilai-nilai (values). Kedua, aspek yang dikaitkan dengan bidang-bidang kehidupan sosial masyarakat, yang dalam kegiatan belajar ini dikemukakan bidang kehidupan ekonomi, bidang kehidupan keluarga, dan lembaga-lembaga masyarakat.
Aspek kebudayaan material (artifacts) adalah aspek-aspek yang sifatnya material dan dapat diraba atau dilihat secara nyata, seperti pakaian, alat-alat kerja, dan sebagainya. Karena sifatnya material, maka aspek kebudayaan ini relatif cepat berubah
Adapun aspek norma (norms), menyangkut kaidah-kaidah atau norma-norma sosial yang mengatur interaksi antara semua warga masyarakat. Aspek ini relatif lebih lambat berubah dibandingkan dengan aspek kebudayaan material.
Aspek lain adalah nilai-nilai budaya (values), yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi pandangan atau falsafah hidup masyarakat. Nilai-nilai inilah yang mendasari norma-norma sosial yang menjadi kaidah interaksi antar warga masyarakat. Aspek nilai inilah paling lambat berubah dibandingkan dengan kedua aspek kebudayaan yang disebut terdahulu.
Perubahan sosial dalam bidang ekonomi pada dasarnya menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat dalam upaya mereka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, baik perubahan dalam nilai-nilai ekonomi, sikap, hubungan ekonomi dengan warga lainnya, maupun dalam cara atau alat-alat yang dipergunakan. Salah satu kunci dalam perubahan bidang ekonomi ini adalah proses “diferensiasi” dan spesialisasi”.
Dalam aspek kehidupan keluarga, yang menjadi fokus perhatian adalah perubahan fungsi dan peranan keluarga dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan dalam struktur dan jumlah anggota keluarga mendorong terjadinya perubahan fungsi dan peranan keluarga. Salah satu aspek kehidupan keluarga yang paling jelas perubahannya adalah peranan kaum ibu.
Adapun dalam aspek lembaga-lembaga masyarakat, perubahan sosial pada dasarnya berkembang, dari suasana kehidupan masyarakat tradisional dengan lembaga-lembaga masyarakat yang jumlah dan sifatnya masih sedikit dan terbatas, serta umumnya berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan. Berkembang menuju masyarakat modern dengan lembaga-lembaga masyarakat yang lebih bervariasi yang pada umumnya dibentuk atas dasar kepentingan warganya, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, pendidikan, serta dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan.

D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong perubahan sosial. Faktor-faktor ini yang mencakup terutama faktor demografis (kependudukan), faktor adanya penemuan-penemuan baru, serta adanya konflik internal dalam masyarakat.
Faktor-faktor Demografis adalah semua perkembangan yang berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk. Sedangkan faktor penemuan-penemuan baru, adalah adanya penemuan di kalangan atau oleh warga masyarakat berkaitan dengan suatu alat atau cara yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh masyarakat, dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka. Sementara itu, faktor konflik internal adalah pertentangan yang timbul di kalangan warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan persepsi yang dipertahankan oleh masing-masing kelompok.
Adapun Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan yang terjadi di luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam faktor eksternal, yang terpenting di antaranya adalah pengaruh lingkungan alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi, faktor eksternal juga dapat berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang.

E.     Perubahan Sosial dan Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum sehubungan dengan rencana pembaruan hokum nasional tersebut pada umumnya hanya dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan legislasi, yakni melahirkan undang-undang baru (statutory law). Peranan Mahkamah Agung (MA) dalam hal ini jelas hampir tidak ada samasekali. Jika pasal 37 UU No 14 Tahun 1970 tentang MA ditafsirkan secara luas dan dengan baik - MA dapat memberi pendapat tentang RUU dengan diminta atau tidak diminta oleh pemerintah dan/atau DPR.
Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua arti. Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, 1979). Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan hukum alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, "definisi" pembangunan hukum adalah "mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat". Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).
Tetapi yang kita saksikan dan alami akhir-akhir ini jauh berbeda dari rumusan tersebut. Kontrol sosial adalah "proses yang dilakukan untuk mempengaruhi agar orang-orang bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan masyarakat". Karena itu hukum perlu "bening dan jernih" - tidak terombang-ambing oleh berbagai kepentingan. Hukum harus sedemikian "dingin"-nya sehingga ia kuat menghadapi berbagai bujukandan imbauan. Bila ada kasus rumit yang menyebabkan bertindihannya berbagai kepentingan, bukan UU dan ketentuan-ketentuan itu yang dapat dibengkok-bengkokkan, melainkan sebaliknya. Perkara itu yang harus bisa "dimasukkan" ke dalam pasal-pasalnya sehingga dapat diputus.
Pada masyarakat modern, sengketa-sengketa lebih sering (lebih aman)diselesaikan lewat jalur hukum (pengadilan). Secara teori, perkembangan sosial masyarakat (social development) merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk menyelesaikan konflik lewat pengadilan. Kepercayaan masyarakat kepada pilihannya ini makin besar bila penyelesaian tersebut memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena itu, keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum harus dipatuhi atau dieksekusi.
Kepastian hukum adalah unsur penting dalam upaya membangun kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Arti kepastian hukum adalah hukum yang dijalankan sebagaimana mestinya dengan tegas, konsekuen, dan tanpa pilih kasih. Kalau keadaan ini tercapai, berarti orang dapat memastikan atau meramalkan bahwa setiap pelanggaran hukum dapat diganjar sesuai dengan ketentuan yang ada, dan orang yang dirugikan baik oleh pribadi, kelompok, atau negara akan mendapat ganti rugi. Dengan kata lain pengadilan beserta aparat hukum lainnya harus benar-benar menerapkan hukum secara konsisten, tanpa pilih kasih, serta sesuai dengan rasa adil masyarakat

F.      Perubahan Sosial dan Pembangunan Politik
Kegiatan belajar ini menjelaskan peranan legislator bahwa dengan semakin terbukanya informasi di berbagai belahan dunia, maka dengan mudah masyarakat dapat membandingkan keadaan (penyaluran aspirasi) yang dialaminya dengan kejadian di belahan dunia lain. Secara ideal, penyaluran aspirasi masyarakat yang demikian lancar kepada wakil-wakilnya di parlemen di tempat lain dapat menjadi pelajaran bagi wakil-wakil kita di DPR/DPRD, namun berbagai bukti yang ada menunjukkan bahwa salah satu wujud dari penerapan good governance seperti itu, belum menjalar ke negara kita. Berdasarkan kondisi ini, maka dipandang perlu bahwa pembangunan di bidang politik, antara lain diperlukan pemberdayaan (peningkatan kualitas) kepada DPR/DPRD adalah suatu yang mendesak di Tanah Air .
Beriringan dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tanah Air, menyebabkan semakin banyak pula anggota masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Perubahan yang terjadi berkaitan dengan aspek ini adalah ketika pemilu pertama 1955, hanya 37,7 juta anggota masyarakat yang ikut dalam pemilu, kemudian mengalami perubahan menjadi 113.1 juta yang diwakili oleh 550 oleh anggota DPR tahun 2004. Hal ini berarti bahwa masyarakat Indonesia semakin menyimpan banyak harapan kepada wakil-wakilnya di DPR. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana harapan itu jika dikaitkan dengan konsep good governance.
Kelihatan bahwa konsep good governance sesungguhnya telah kita miliki secara fomal. Misalnya, dalam pasal 42 s/d pasal 45 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan mengenai substansi good governance yang harus dilakukan oleh anggota parlemen. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa ketentuan itu lebih bernuansa formalitas ketimbang prakteknya di lapangan.

G.    Perubahan Sosial dan Pembangunan Birokrasi Pemerintahan
Uraian kegiatan belajar ini antara lain dijelaskan tentang model birokrasi klasik yang antara lain disponsori oleh Max Weber yang didasarkan pada beberapa prinsip, antara lain: hierarki, peraturan yang konsisten, formalistik, impersonality dan sistem sentralisasi. Pada perkembangan selanjutnya, ternyata berbagai prinsip dari birokrasi klasik tersebut, telah banyak mendapat kritikan dari ahli-ahli ilmu sosial itu sendiri. Kritik yang tajam, antara lain adalah berbagai prinsip birokrasi klasik telah wafat. Banyak aspek yang kurang diperhitungkan di dalam ajarannya, seperti: proses kematangan pada diri birokrat, dan manfaat dari terjadinya hubungan informal, justru dilarang oleh ajaran Weber. Kemudian para ahli melahirkan konsep yang disebutnya sebagai paradigma baru birokrasi.
Antara lain, Osborne dan Gaebler mengidentifikasi karakteristik “paradigma baru” birokrasi ini dalam “Mewirausahakan Birokrasi” yang pada substansinya ditekankan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik terjadi, apabila birokrat lebih bersifat: mengarahkan, memberikan wewenang (desentralisasi), menciptakan persaingan dalam pemberian pelayanan, organisasi lebih digerakkan oleh misi, lebih berorientasi kepada pembiayaan hasil, orientasi menghasilkan, mencegah timbulnya masalah, dan lebih berorientasi kepada pasar. Paradigma baru birokrasi ini, nampaknya banyak mewarnai secara formal pembangunan nasional, termasuk pembangunan sosial yang dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999, kemudian ditarik kembali dengan dimunculkannya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Substansi ini terlihat dari pasal-pasalnya, dan lebih tegas lagi dicantumkan di dalam berbagai butir yang menjadi dasar pertimbangan ditetapkannya kedua UU tersebut.

Share this article :

Post a Comment

 
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger