KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH Tuhan Yang
Maha Esa.Karena atas karunia-Nyalah,saya masih dapat berkreasi untuk
menghasilkan sebuah karya seni berupa makalah yang berjudul SISTEM
PREVENTIF.
Makalah ini
disusun sebagai sarana untuk mengetahui masalah sistem preventif.Selain
itu,makalah ini juga merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan dalam
kesehatan,dan bakat yang ada pada diri masing-masing individu atau kelompok.
Kami
berharap,ilmu yang saya tuangkan dalam makalah ini bermanfaat bagi seluruh
individu maupun kelompok.saya mengucapkan terimah kasih atas segala masukan dan
saran untuk perbaikan makalah ini selanjutnya.
Penulis
RAHMAT IKBAL
Daftar isi
Halaman
Di dalam ilmu kesehatan, kita
mengenal bahwa mencegah (preventif) lebih baik daripada mengobati (kuratif),
karena tindakan preventif, biayanya murah serta menghindarkan terjadinya
invalid (cacat seumur hidup). Mencegah terjadinya cedera olahraga tentunya
sangat berharga untuk dilakukan mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat
cedera sangat bermakna. Guru memegang peranan penting dalam usaha pencegahan
cedera olahraga pada siswa. Sebagian faktor penyebab cedera memang sulit untuk
dikontrol guru, namun setidaknya guru tetap dapat melakukan tindakan-tindakan
antisipasi.
pemeriksaan kesehatan, pengaturan gizi, pengaturan
istirahat atau recovery, aklimatisasi, latihan peningkatan ketrampilan teknik,
latihan peningkatan mental bertanding, pemanasan dan pendinginan, pengawasan
lapangan, dan pengawasan perlengkapan Menurut Surendra (2008), usaha pencegahan
cedera olahraga pada atlet meliputi : pemain, manajemen penonton, peningkatan
kualitas wasit dan pelatih, menegakkan peraturan dan pengawasan doping.
dSeangkan
untuk usaha pencegahan cedera olahraga pada siswa yang dapat dilakukan guru :
v Mengecek kesiapan fisik siswa sebelum pelajaran olahraga dimulai
Guru
perlu melihat sepintas lalu keadaan kesehatan siswanya sebelum pembelajaran
dimulai. Siswa yang tampak lemah, pucat, atau pasca cedera diperkenankan untuk
tidak mengikuti kgiatan pembelajaran.
v Memastikan keamanan kondisi lapangan
Kondisi
lapangan yang buruk sering sulit dikontrol oleh guru. Namun guru sedapat
mungkin melakukan kegiatan pembelajaran pada lapangan olahraga yang aman bagi siswa.
v Melakukan kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani pada suasana yang nyaman
Jika
suhu udara terlalu panas, pastikan siswa membawa air minum sebagai bekal saat
berolahraga. Jangan biarkan siswa mengalami kondisi dehidrasi yang dapat
membahayakan kondisi kesehatannya. Sebaliknya jika kondisi mendung sebaiknya
guru tidak memaksakan untuk melakukan aktivitas outdoor.
v Memberikan pemanasan dan pendinginan
Pastikan
guru memberikan pemanasan sebelum aktivitas inti dilakukan. Lakukan warming
up secara bertahap dari intensitas ringan dulu kemudian dapat diikuti
dengan peregangan. Jangan pernah melakukan peregangan pada otot yang masih
”dingin”.
v Memberikan teknik ketrampilan yang benar
Pastikan
siswa memahami teknik ketrampilan olahraga yang benar. Siswa yang baru pertama
kali mempelajari teknik suatu gerakan olahraga rentan mengalami cedera.
v Mengantisipasi terjadinya konflik antar siswa saat pembelajaran
Tawuran
antar siswa dapat merupakan sumber terjadinya cedera. Untuk itu guru harus
mampu meredam ledakan emosi siswa yang kerap terjadi pada saat berolahraga.
v Menyiapkan perlengkapan pertolongan pertama
Kelengkapan
otak P3K harus disiapkan di ruang UKS. Jika olahraga dilakukan di luar
sekolah,
guru harus membawa perlengkapan P3K yang memadai.
Contoh Preventif adalah pengolesan
flour pada gigi.
Pengertian Pelayanan kesehatan kuratif
adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang
ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit,
pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita
dapat terjaga seoptimal mungkin.
2.Sistem Preventif Dalam Dunia Kesehatan
Disadari
bahwa keadaan sakit disamping membutuhkan biaya untuk
perawatan
dan pengobatan, juga mengurangi pendapatan, sehingga terjadi
kerugian
ganda. Kerugian materiil dapat diperhitungkan, namun bagaimana
dengan
rasa sakit yang harus ditanggung?. Sungguh tak dapat dinilai dengan
uang.
Untuk itulah tindakan pencegahan merupakan tindakan bijaksana yang
harus
lebih diupayakan. Olahraga berperan sangat besar untuk suksesnya
tindakan
pencegahan dengan jalan meningkatkan daya tahan tubuh seseorang.
Olahraga terutama akan mencegah atau menunda
timbulnya penyakit
degeneratif,
seperti misalnya: Diabetes Melitus, Hipertensi, Jantung Koroner
dan
Rematik sendi. Meskipun demikian , penyakit infeksi atau menular pun
dapat
tercegah karena adanya efek olahraga pada peningkatan daya tahan
tubuh
seseorang. Seperti diketahui serangan penyakit infeksi tergantung
oleh
tiga faktor yaitu: faktor penyebab penyakit, faktor lingkungan, dan
faktor
manusia.
Faktor
penyebab penyakit dibedakan menjadi menjadi faktor yang
berasal
dari luar tubuh (eksogen) dan dari dalam tubuh (endogen). Faktor
dari
luar tubuh misalnya bibit penyakit, racun, dan makanan, sedangkan
faktor
dari dalam tubuh misalnya perawakan, penyakit keturunan dan usia.
Faktor
lingkungan meliputi lingkungan biologik, fisik, ekonomi, mental dan
sosial.
Faktor manusia sangat ditentukan oleh daya tahan tubuhnya. Cita-cita
untuk
hidup bebas dari penyakit mungkin tak akan pernah tercapai. Manusia
mengalami
perkembangan, demikian pula dengan penyebab penyakit dan
lingkungan.
Meskipun demikian manusialah penentu utama bagi kesehatan
tubuhnya.
2.1 OLAHRAGA PREVENTIF
Olahraga
yang dimaksudkan untuk usaha preventif pada dasarnya sama
dengan
olahraga untuk kebugaran. Memilih jenis latihan yang disenangi akan
menjamin
keberlangsungan latihan yang teratur. Joging, bersepeda, jalan,
berenang,
mendayung, senam dan latihan beban bisa dijadikan pilihan
(Sumosarjuno,
1993). Macam latihan diatas dapat menjamin
keberlangsungan
CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance).
Latihan yang terus menerus dan ritmis mempunyai berbagai
kelebihan
antara lain: mudah dilakukan, mudah dipantau intensitasnya dan
memberi
efek besar terhadap kebugaran dan daya tahan tubuh. Meskipun
demikian
sebagai selingan dan rekreasi , olahraga permainan tetap dianjurkan.
Yang
perlu diwaspadai dalam olahraga permainan ini adalah kecenderungan
seseorang
untuk bermain melebih kapasitas fisiknya. Pada orang dengan berat
badan
berlebih (kegemukan) dianjurkan untuk memilih renang atau bersepeda
agar
beban pada lutut dapat terkurangi.
2.2 OLAHRAGA PREVENTIF UNTUK PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penyakit
Jantung Koroner dipermudah oleh multifaktorial yang disebut
faktor
resiko. Ada dua kelompok faktor resiko yaitu yang menetap dan yang
tidak
menetap. Termasuk dalam faktor resiko menetap antara lain umur, sex,
dan
keturunan, sedang yang tidak menetap antara lain obesitas, hipertensi,
diabetes
melitus, stres, kurang kegiatan fisik, kepribadian, dan gaya hidup.
Walaupun
terdapat keterbatasan, penelitian epidemiologis menunjukkan
bahwa
terdapat kecenderungan yang cukup kuat akan adanya peran latihan
fisik
teratur sebagai salah satu faktor proteksi dalam pencegahan primer dan
sekunder
pada penyakit jantung koroner. Menurut American Heart
Association
Subcomitee on Exercise/Cardiac Rehabilitation, latihan dapat
meningkatkan
kapasitas fungsional kardiovaskuler dan menurunkan kebutuhan
oksigen
otot jantung baik pada orang sehat maupun penderita penyakit
jantung
koroner.
Program
olahraga yang teratur akan mengurangi faktor resiko yang
tidak
menetap, seperti misalnya obesitas, hipertensi, diabetes melitus,
hiperlipidemi,
stres, dan gaya hidup (Boestan, 1990). Bila seseorang mulai
berolahraga
biasanya ia akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih aktif
bergerak,
dan lebih memperhatikan kesehatan. Aktivitas reguler (paling tidak
selang-seling
hari) akan memberi perubahan pada sistem kardiorespirasi
(Dotson,
1988).
2.3 OLAHRAGA PREVENTIF PADA ASMA BRONKIALE
Kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa penerita asma
dapat
berpartisipasi dalam aktivitas fisik di sekolah dan mengikuti pelajaran
pendidikan
jasmani tanpa kesulitan. Program latihan yang dirancang bagi
penderita
asma pada dasarnya menitik beratkan pada latihan pernafasan yang
bertujuan
untuk:
a.
Meningkatkan efisiensi fase ekspirasi
b.
Mengurangi aktivitas dada bagian atas
c.
Mengajarkan pernafasan diafragma
d.
Merelakskan otot yang tegang
e.
Meningkatkan fleksibilitas otot intercostalis, pectoralis, scalenius , dan
trapezius.
Penderita
diajak untuk menyadari pernafasannya. Ia harus dapat
membedakan
pernafasan costal dengan pernafasan diafragma, dan dapat
merasakan
kontraksi otot inspirasi meskipun dalam keadaan ekspirasi keras
(forced
expiration). Pada pernafasan yang biasa, satu-satunya otot ekspirasi
adalah
diafragma, sedangkan penderita asma lebih banyak menggunakan otot
intercostalis
daripada otot diafragma. Pernafasan diafragma kadang-kadang
disebut
sebagai pernafasan perut, karena perut terlihat menggembung pada
saat
inspirasi, dan mengempis pada saat ekspirasi. Nervus phrenicus yang
emnginervasi
diafragma sangat peka terhadap rangsangan, sehingga baik
batuk,
bersin maupun kecemasan akan meningkatkan tonus diafragma, yang
selanjutnya
menegangkan otot pektoralis, skaleni dan trapezius. Akibatkan
penegangan
tersebut adalah mengembangnya dada seperti dalam keadaan
mengambil
nafas dalam waktu lama.
Pada
respirasi normal, diafragma bergerak ke atas bawah sepanjang 1-
7
cm, sedangkan pada saat serangan hanya terjadi gerakan kurang dari 1 cm.
Penderita
asma yang terus menerus menggunakan pernafasan costal akan
berangsur-angsur
kehilangan fleksibilitas pada otot dada bagian bawah.
Latihan
bernafas harus dilakukan setiap hari dalam beberapa menit dengan
cara
sebagai berikut:
a.
Hembuskan nafas melalui hidung sehingga lendir pada bronkii akan
tertarik
ke atas.
b.
Ambil nafas pendek melalui hidung dan hembuskan panjang melalui bibir
yang
terkatup renggang, sehingga menimbulkan suara.
c.
Panjang fase ekspirasi diusahakan dua kali panjang fase inspirasi.
Pengaturan
dapat dilakukan dengan stopwatch atau metronom.
d.
Kendurkan pakaian dan aturlah nafas sehingga pada saat ekspirasi perut
mengempis,
untuk menunjukkan bahwa diafragma meninggi kearah dada.
Beritahukan
bahwa akan ada batuk dan bunyi ngik selama beberapa detik
pertama
dari pernafasan diafragma.
e.
Minumlah segelas air sebelum dan sesudah latihan. Evaluasilah latihan ini
dengan
indikator meningkatnya Maximal Breathing Capacity (MBC) dan
FEV
1 (Force Expiratory Volume for one second), Menggembungnya iga
keempat
dan menggembungnya perut.
Fein
dan Cox merekomendasi 12 macam latihan pernafasan yang dapat
dilakukan
sebagai latihan harian atau dimasukkan sebagai bagian dari latihan
pemanasan
dan pendinginan. Latihan inti yang disarankan adalah yang bersifat
intermiten,
dengan latihan keras yang diselang-seling istirahat aktif,
sehingga
mencapai durasi tertentu. Renang lebih dipilih dari pada lari karena
efek
sampingnya terhadap EIA lebih jarang timbul. Meskipun demikian,
olahraga
permainan dan rekreasi yang terutama meningkatkan ekspirasi,
banyak
menggunakan otot perut, dan banyak mengandung aktivitas
menghembus
sangat direkomendasi. Gerakan senam yang dirancang khusus
juga
dapat memberi manfaat bagi penderita asma. Lari jarak pendek,
softball,
baseball, dan volleyball juga dianjurkan.
Latihan
fisik dengan intensitas tinggi pada penderita asma telah
diteliti
oleh Emtner (1996) dan didapatkan bahwa semua subyek dapat
melakukan
latihan fisik dengan intensitas tinggi (80-90% prediksi Dnmax).
Tak
ada serangan asma pada saat melakukan latihan, dan ke-26 subyek
seluruhnya
dapat menyelesaikan program serta lebih percaya diri untuk
melakukan
latihan dengan intensitas tinggi. Disamping itu Emtner (1998)
juga
membandingkan manfaat latihan di darat dan di air. Ternyata keduanya
sama-sama
bermanfaat, dan memberi efek yang hampir sama. Tiga tahun
setelah
mengikuti program rehabilitasi, Emtner (1998) menelusurinya dan
mendapatkan
kenyataan bahwa penderita asma yang semula takut
berolahraga,
justru meneruskan latihan secara mandiri.
Efek
latihan dalam meningkatkan fungsi paru dan keterampilan gerak
pada
penderita asma diteliti oleh Schmidt (1997) dan didapatkan adanya
efek
positif pada keduanya. Pada elit atlet didapatkan bahwa resiko serangan
asma
lebih banyak didapat pada lari jauh dibandingkan dengan gerakan yang
membutuhkan
kecepatan dan power (Helenius,1997). Penelitian Lutcke
(1996)
mendapatkan kesimpulan bahwa disamping dokter, penderita asma
juga
membutuhkan pelatih fisik, psikolog dan ahli gizi. Kondisi yang hipoksik
justru
dilatihkan oleh Serebrovskaia (1998) dan didapatkan adanya pengaruh
positif
terhadap status imunologik spesifik, serta merangsang limfosit dan
neutrofil.
Prevalensi asma di Australia selatan dipantau pada tahun 1992 -
1995
oleh Adam (1997) dan ditemukan adanya peningkatan prevalensi dari
9,3%
ke 11,4%. Pemakaian peak flow meter untuk mendiagnosa EIA telah
diteliti
oleh Kirkby (1998) dan dianjurkan untuk digunakan oleh para guru
dalam
mendeteksi EIA pada siswanya. Tanaka (1997) mendapatkan pada
olahraga
renang bahwa disamping asmanya berkurang, tekanan darahnya pun
menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Adam
R; Ruffin R (1997): Asthma prevalence morbidity and management
practices
in South Australia 1992 - 1995, Aust NZ J.Med, 27(6):672
-
679. Dec
Boestan
IN (1990): Peranan Olahraga dalam Pencegahan Penyakit Jantung;
Simposium
Nasional Pencegahan Penyakit Kardiovaskuler, Maret
Claudine
sherill (1981): Adapted Physical Education and Recreation: Wm
C.Brown
Company Publisher Dubuque, Iowa, USA.
Dotson
S (1988): Health Fitness Standards, Aerobic Endurance; Jour of
Phys
Ed, Recr and Dance; 60 (4): 26 - 31
Emtner
M; Herald M. (1996): High intensity physical training in adults with
asthma.
A 10-week rehabilitation program. Chest, 109(2): 323 -
330.Feb.
Emtner
M; Finne (1998): A 3-year follow up of asthmatic patients
participating
in a 10-week rehabilitation program with emohasis on
physical
training; Arch Phys Med Rehabil, 79(5): 539-544, May
Emtner
M (1998): High intensity physical training in adults with asthma. A
comparison
between training on land and in water; Scand J. Rehabil
Med,
30(4): 201-209, Dec.
Helenius
IJ; Tikkaneb HO (1997): Association between type of training and
risk
of asthma in elite athletes; Thorax, 52 (2): 157-160, Feb.
Kirkby
RE; Ker JA (1998): Exercise induced asthma in a group of south
African
school children during physical education classes. S.Afr
Med.J:
88(2): 136-138, Feb.
Lutcke
P (1996): Rehabilitation in asthmatic disease. Z Arztl Fortbild
Post a Comment