Selamat datang Iskandar Menulis.Com

Featured post

Membangun Hubungan Interpersonal Antara Pustakawan Dan Pemustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Konsep perpustakaan sebagai sebuah kesatuan organisasi yang terstuktur dalam tujuanya m...

MAKALAH SPORT MEDICINE Sistem Preventif (pencegahan)

Tuesday, 25 November 20140 comments






KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH Tuhan Yang Maha Esa.Karena atas karunia-Nyalah,saya masih dapat berkreasi untuk menghasilkan sebuah karya seni berupa makalah yang berjudul SISTEM PREVENTIF.
      Makalah ini disusun sebagai sarana untuk mengetahui masalah sistem preventif.Selain itu,makalah ini juga merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan dalam kesehatan,dan bakat yang ada pada diri masing-masing individu atau kelompok.
        Kami berharap,ilmu yang saya tuangkan dalam makalah ini bermanfaat bagi seluruh individu maupun kelompok.saya mengucapkan terimah kasih atas segala masukan dan saran untuk perbaikan makalah ini selanjutnya.






Penulis

RAHMAT IKBAL

Daftar isi
Halaman












Di dalam ilmu kesehatan, kita mengenal bahwa mencegah (preventif) lebih baik daripada mengobati (kuratif), karena tindakan preventif, biayanya murah serta menghindarkan terjadinya invalid (cacat seumur hidup). Mencegah terjadinya cedera olahraga tentunya sangat berharga untuk dilakukan mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat cedera sangat bermakna. Guru memegang peranan penting dalam usaha pencegahan cedera olahraga pada siswa. Sebagian faktor penyebab cedera memang sulit untuk dikontrol guru, namun setidaknya guru tetap dapat melakukan tindakan-tindakan antisipasi.
           pemeriksaan kesehatan, pengaturan gizi, pengaturan istirahat atau recovery, aklimatisasi, latihan peningkatan ketrampilan teknik, latihan peningkatan mental bertanding, pemanasan dan pendinginan, pengawasan lapangan, dan pengawasan perlengkapan Menurut Surendra (2008), usaha pencegahan cedera olahraga pada atlet meliputi : pemain, manajemen penonton, peningkatan kualitas wasit dan pelatih, menegakkan peraturan dan pengawasan doping.
dSeangkan untuk usaha pencegahan cedera olahraga pada siswa yang dapat dilakukan guru :

v  Mengecek kesiapan fisik siswa sebelum pelajaran olahraga dimulai

Guru perlu melihat sepintas lalu keadaan kesehatan siswanya sebelum pembelajaran dimulai. Siswa yang tampak lemah, pucat, atau pasca cedera diperkenankan untuk tidak mengikuti kgiatan pembelajaran.


v  Memastikan keamanan kondisi lapangan

Kondisi lapangan yang buruk sering sulit dikontrol oleh guru. Namun guru sedapat mungkin melakukan kegiatan pembelajaran pada lapangan olahraga yang aman bagi siswa. 

v  Melakukan kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani pada suasana yang nyaman

Jika suhu udara terlalu panas, pastikan siswa membawa air minum sebagai bekal saat berolahraga. Jangan biarkan siswa mengalami kondisi dehidrasi yang dapat membahayakan kondisi kesehatannya. Sebaliknya jika kondisi mendung sebaiknya guru tidak memaksakan untuk melakukan aktivitas outdoor.

v  Memberikan pemanasan dan pendinginan

Pastikan guru memberikan pemanasan sebelum aktivitas inti dilakukan. Lakukan warming up secara bertahap dari intensitas ringan dulu kemudian dapat diikuti dengan peregangan. Jangan pernah melakukan peregangan pada otot yang masih ”dingin”.

v  Memberikan teknik ketrampilan yang benar

Pastikan siswa memahami teknik ketrampilan olahraga yang benar. Siswa yang baru pertama kali mempelajari teknik suatu gerakan olahraga rentan mengalami cedera.

v  Mengantisipasi terjadinya konflik antar siswa saat pembelajaran

Tawuran antar siswa dapat merupakan sumber terjadinya cedera. Untuk itu guru harus mampu meredam ledakan emosi siswa yang kerap terjadi pada saat berolahraga.

v  Menyiapkan perlengkapan pertolongan pertama

Kelengkapan otak P3K harus disiapkan di ruang UKS. Jika olahraga dilakukan di luar
sekolah, guru harus membawa perlengkapan P3K yang memadai.
Contoh Preventif adalah pengolesan flour pada gigi.
Pengertian Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

2.Sistem Preventif Dalam Dunia Kesehatan


Disadari bahwa keadaan sakit disamping membutuhkan biaya untuk
perawatan dan pengobatan, juga mengurangi pendapatan, sehingga terjadi
kerugian ganda. Kerugian materiil dapat diperhitungkan, namun bagaimana
dengan rasa sakit yang harus ditanggung?. Sungguh tak dapat dinilai dengan
uang. Untuk itulah tindakan pencegahan merupakan tindakan bijaksana yang
harus lebih diupayakan. Olahraga berperan sangat besar untuk suksesnya
tindakan pencegahan dengan jalan meningkatkan daya tahan tubuh seseorang.
Olahraga terutama akan mencegah atau menunda timbulnya penyakit
degeneratif, seperti misalnya: Diabetes Melitus, Hipertensi, Jantung Koroner
dan Rematik sendi. Meskipun demikian , penyakit infeksi atau menular pun
dapat tercegah karena adanya efek olahraga pada peningkatan daya tahan
tubuh seseorang. Seperti diketahui serangan penyakit infeksi tergantung
oleh tiga faktor yaitu: faktor penyebab penyakit, faktor lingkungan, dan
faktor manusia.
Faktor penyebab penyakit dibedakan menjadi menjadi faktor yang
berasal dari luar tubuh (eksogen) dan dari dalam tubuh (endogen). Faktor
dari luar tubuh misalnya bibit penyakit, racun, dan makanan, sedangkan
faktor dari dalam tubuh misalnya perawakan, penyakit keturunan dan usia.
Faktor lingkungan meliputi lingkungan biologik, fisik, ekonomi, mental dan
sosial. Faktor manusia sangat ditentukan oleh daya tahan tubuhnya. Cita-cita
untuk hidup bebas dari penyakit mungkin tak akan pernah tercapai. Manusia
mengalami perkembangan, demikian pula dengan penyebab penyakit dan
lingkungan. Meskipun demikian manusialah penentu utama bagi kesehatan
tubuhnya.       

 

2.1 OLAHRAGA PREVENTIF


Olahraga yang dimaksudkan untuk usaha preventif pada dasarnya sama
dengan olahraga untuk kebugaran. Memilih jenis latihan yang disenangi akan
menjamin keberlangsungan latihan yang teratur. Joging, bersepeda, jalan,
berenang, mendayung, senam dan latihan beban bisa dijadikan pilihan
(Sumosarjuno, 1993). Macam latihan diatas dapat menjamin
keberlangsungan CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance). Latihan yang terus menerus dan ritmis mempunyai berbagai
kelebihan antara lain: mudah dilakukan, mudah dipantau intensitasnya dan
memberi efek besar terhadap kebugaran dan daya tahan tubuh. Meskipun
demikian sebagai selingan dan rekreasi , olahraga permainan tetap dianjurkan.
Yang perlu diwaspadai dalam olahraga permainan ini adalah kecenderungan
seseorang untuk bermain melebih kapasitas fisiknya. Pada orang dengan berat
badan berlebih (kegemukan) dianjurkan untuk memilih renang atau bersepeda
agar beban pada lutut dapat terkurangi.

 

2.2 OLAHRAGA PREVENTIF UNTUK PENYAKIT JANTUNG KORONER


Penyakit Jantung Koroner dipermudah oleh multifaktorial yang disebut
faktor resiko. Ada dua kelompok faktor resiko yaitu yang menetap dan yang
tidak menetap. Termasuk dalam faktor resiko menetap antara lain umur, sex,
dan keturunan, sedang yang tidak menetap antara lain obesitas, hipertensi,
diabetes melitus, stres, kurang kegiatan fisik, kepribadian, dan gaya hidup.
Walaupun terdapat keterbatasan, penelitian epidemiologis menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan yang cukup kuat akan adanya peran latihan
fisik teratur sebagai salah satu faktor proteksi dalam pencegahan primer dan
sekunder pada penyakit jantung koroner. Menurut American Heart
Association Subcomitee on Exercise/Cardiac Rehabilitation, latihan dapat
meningkatkan kapasitas fungsional kardiovaskuler dan menurunkan kebutuhan
oksigen otot jantung baik pada orang sehat maupun penderita penyakit
jantung koroner.
Program olahraga yang teratur akan mengurangi faktor resiko yang
tidak menetap, seperti misalnya obesitas, hipertensi, diabetes melitus,
hiperlipidemi, stres, dan gaya hidup (Boestan, 1990). Bila seseorang mulai
berolahraga biasanya ia akan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih aktif
bergerak, dan lebih memperhatikan kesehatan. Aktivitas reguler (paling tidak
selang-seling hari) akan memberi perubahan pada sistem kardiorespirasi
(Dotson, 1988).

 

 

2.3 OLAHRAGA PREVENTIF PADA ASMA BRONKIALE


Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa penerita asma
dapat berpartisipasi dalam aktivitas fisik di sekolah dan mengikuti pelajaran
pendidikan jasmani tanpa kesulitan. Program latihan yang dirancang bagi
penderita asma pada dasarnya menitik beratkan pada latihan pernafasan yang
bertujuan untuk:
a. Meningkatkan efisiensi fase ekspirasi
b. Mengurangi aktivitas dada bagian atas
c. Mengajarkan pernafasan diafragma
d. Merelakskan otot yang tegang
e. Meningkatkan fleksibilitas otot intercostalis, pectoralis, scalenius , dan
trapezius.
Penderita diajak untuk menyadari pernafasannya. Ia harus dapat
membedakan pernafasan costal dengan pernafasan diafragma, dan dapat
merasakan kontraksi otot inspirasi meskipun dalam keadaan ekspirasi keras
(forced expiration). Pada pernafasan yang biasa, satu-satunya otot ekspirasi
adalah diafragma, sedangkan penderita asma lebih banyak menggunakan otot
intercostalis daripada otot diafragma. Pernafasan diafragma kadang-kadang
disebut sebagai pernafasan perut, karena perut terlihat menggembung pada
saat inspirasi, dan mengempis pada saat ekspirasi. Nervus phrenicus yang
emnginervasi diafragma sangat peka terhadap rangsangan, sehingga baik
batuk, bersin maupun kecemasan akan meningkatkan tonus diafragma, yang
selanjutnya menegangkan otot pektoralis, skaleni dan trapezius. Akibatkan
penegangan tersebut adalah mengembangnya dada seperti dalam keadaan
mengambil nafas dalam waktu lama.
Pada respirasi normal, diafragma bergerak ke atas bawah sepanjang 1-
7 cm, sedangkan pada saat serangan hanya terjadi gerakan kurang dari 1 cm.
Penderita asma yang terus menerus menggunakan pernafasan costal akan
berangsur-angsur kehilangan fleksibilitas pada otot dada bagian bawah.
Latihan bernafas harus dilakukan setiap hari dalam beberapa menit dengan
cara sebagai berikut:
a. Hembuskan nafas melalui hidung sehingga lendir pada bronkii akan
tertarik ke atas.
b. Ambil nafas pendek melalui hidung dan hembuskan panjang melalui bibir
yang terkatup renggang, sehingga menimbulkan suara.
c. Panjang fase ekspirasi diusahakan dua kali panjang fase inspirasi.
Pengaturan dapat dilakukan dengan stopwatch atau metronom.
d. Kendurkan pakaian dan aturlah nafas sehingga pada saat ekspirasi perut
mengempis, untuk menunjukkan bahwa diafragma meninggi kearah dada.
Beritahukan bahwa akan ada batuk dan bunyi ngik selama beberapa detik
pertama dari pernafasan diafragma.
e. Minumlah segelas air sebelum dan sesudah latihan. Evaluasilah latihan ini
dengan indikator meningkatnya Maximal Breathing Capacity (MBC) dan
FEV 1 (Force Expiratory Volume for one second), Menggembungnya iga
keempat dan menggembungnya perut.
Fein dan Cox merekomendasi 12 macam latihan pernafasan yang dapat
dilakukan sebagai latihan harian atau dimasukkan sebagai bagian dari latihan
pemanasan dan pendinginan. Latihan inti yang disarankan adalah yang bersifat
intermiten, dengan latihan keras yang diselang-seling istirahat aktif,
sehingga mencapai durasi tertentu. Renang lebih dipilih dari pada lari karena
efek sampingnya terhadap EIA lebih jarang timbul. Meskipun demikian,
olahraga permainan dan rekreasi yang terutama meningkatkan ekspirasi,
banyak menggunakan otot perut, dan banyak mengandung aktivitas
menghembus sangat direkomendasi. Gerakan senam yang dirancang khusus
juga dapat memberi manfaat bagi penderita asma. Lari jarak pendek,
softball, baseball, dan volleyball juga dianjurkan.
Latihan fisik dengan intensitas tinggi pada penderita asma telah
diteliti oleh Emtner (1996) dan didapatkan bahwa semua subyek dapat
melakukan latihan fisik dengan intensitas tinggi (80-90% prediksi Dnmax).
Tak ada serangan asma pada saat melakukan latihan, dan ke-26 subyek
seluruhnya dapat menyelesaikan program serta lebih percaya diri untuk
melakukan latihan dengan intensitas tinggi. Disamping itu Emtner (1998)
juga membandingkan manfaat latihan di darat dan di air. Ternyata keduanya
sama-sama bermanfaat, dan memberi efek yang hampir sama. Tiga tahun
setelah mengikuti program rehabilitasi, Emtner (1998) menelusurinya dan
mendapatkan kenyataan bahwa penderita asma yang semula takut
berolahraga, justru meneruskan latihan secara mandiri.
Efek latihan dalam meningkatkan fungsi paru dan keterampilan gerak
pada penderita asma diteliti oleh Schmidt (1997) dan didapatkan adanya
efek positif pada keduanya. Pada elit atlet didapatkan bahwa resiko serangan
asma lebih banyak didapat pada lari jauh dibandingkan dengan gerakan yang
membutuhkan kecepatan dan power (Helenius,1997). Penelitian Lutcke
(1996) mendapatkan kesimpulan bahwa disamping dokter, penderita asma
juga membutuhkan pelatih fisik, psikolog dan ahli gizi. Kondisi yang hipoksik
justru dilatihkan oleh Serebrovskaia (1998) dan didapatkan adanya pengaruh
positif terhadap status imunologik spesifik, serta merangsang limfosit dan
neutrofil. Prevalensi asma di Australia selatan dipantau pada tahun 1992 -
1995 oleh Adam (1997) dan ditemukan adanya peningkatan prevalensi dari
9,3% ke 11,4%. Pemakaian peak flow meter untuk mendiagnosa EIA telah
diteliti oleh Kirkby (1998) dan dianjurkan untuk digunakan oleh para guru
dalam mendeteksi EIA pada siswanya. Tanaka (1997) mendapatkan pada
olahraga renang bahwa disamping asmanya berkurang, tekanan darahnya pun
menurun.















DAFTAR PUSTAKA
Adam R; Ruffin R (1997): Asthma prevalence morbidity and management
practices in South Australia 1992 - 1995, Aust NZ J.Med, 27(6):672
- 679. Dec
Boestan IN (1990): Peranan Olahraga dalam Pencegahan Penyakit Jantung;
Simposium Nasional Pencegahan Penyakit Kardiovaskuler, Maret
Claudine sherill (1981): Adapted Physical Education and Recreation: Wm
C.Brown Company Publisher Dubuque, Iowa, USA.
Dotson S (1988): Health Fitness Standards, Aerobic Endurance; Jour of
Phys Ed, Recr and Dance; 60 (4): 26 - 31
Emtner M; Herald M. (1996): High intensity physical training in adults with
asthma. A 10-week rehabilitation program. Chest, 109(2): 323 -
330.Feb.
Emtner M; Finne (1998): A 3-year follow up of asthmatic patients
participating in a 10-week rehabilitation program with emohasis on
physical training; Arch Phys Med Rehabil, 79(5): 539-544, May
Emtner M (1998): High intensity physical training in adults with asthma. A
comparison between training on land and in water; Scand J. Rehabil
Med, 30(4): 201-209, Dec.
Helenius IJ; Tikkaneb HO (1997): Association between type of training and
risk of asthma in elite athletes; Thorax, 52 (2): 157-160, Feb.
Kirkby RE; Ker JA (1998): Exercise induced asthma in a group of south
African school children during physical education classes. S.Afr
Med.J: 88(2): 136-138, Feb.
Lutcke P (1996): Rehabilitation in asthmatic disease. Z Arztl Fortbild
Share this article :

Post a Comment

 
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger