MAJELIS PERTIMBANGAN KODE ETIK
a)
Pengertian
Etika dan Kode Etik
Etika
berasal dari bahasa Yunani. Menurut etimologi berasal dari kata Ethos yang
artinya kebiasaan atau tingkah laku manusia. Dalam Bahasa Inggris disebut Ethis
yang artinya sebagai ukuran tingkah laku atau prilaku manusia yang baik, yakni
tindakan manusia yang tepat yang harus dilaksanakan oleh manusia itu sesuai
dengan etika moral pada umumya. Etika merupakan suatu cabang ilmu filsafat yang
mengatur prinsip-prinsip tentang moral dan tentang baik buruknya suatu
perilaku.
Etika
merupakan aplikasi atau penerapam teori tentang filosofi moral kedalam situasi
nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia
berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang
dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan istilah etik untuk menggambarkan etika
suatu profesi dalam hubungannya dengan kode etik professional.
Sedangkan
Kode Etik itu sendiri adalah suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai
internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan
komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota dalam
melaksanakan pengabdian profesi.
Kode
Etik merupakan norma-norma yang harus dilaksanakan oleh setiap profesi di dalam
melaksanakan tugas profesinya dan di dalam kehidupan di masyarakat.
Maka
secara sederhana juga dapat dikatakan bahwa etika adalah disiplin yang
mempelajari tentang baik buruknya sikap tindakan atau perilaku.
b)
Tujuan Kode
Profesi adalah :
- Untuk Menjunjung Tinggi Martabat dan Citra Profesi
- Untuk Menjunjung Tinggi dan Memelihara Kesejahteraan Para Anggotanya
- Untuk Meningkatkan Pengabdian Para Anggota Profesi
- Untuk Meningkatkan Mutu Profesi
Di dalam pelaksanaannya penetapan
kode etik IBI harus dilakukan oleh kongres IBI. Hal ini terjadi karena kode
etik suatu organisasi akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan
disiplin di kalangan profesi, jika semua orang menjalankan profesi yang sama
tersebut tergabung dalam suatu organisasi profesi. Hal ini menjadi lebih tegas
dengan pengertian bahwa apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi
maka secara otomatis dia tergabung dalam suatu organisasi atau ikatan profesi.
Apabila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik maka barulah ada suatu jaminan
bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap
anggota profesi yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan
sangsi dalam menjalankan tugasnya.
Sehubung dengan pelaksanaan Kode
Etik Profesi, bisan di bantu oleh suatu lembaga yang disebut Majelis
Pertimbangan Kode Etik Bidan Indonesia dan Majelis Pertimbangan Etika Profesi
Bidan Indonesia. Dalam organisasi IBI terdapat Majelis Pertimbangan Etika Bidan
(MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).
c)
Dasar
Penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi
Dasar
penyusunan Majelis Pertimbangan Etika Profesi adalah Majelis Pembinaan dan
Pengawasan Etik Pelayanan Medis (MP2EPM), yang meliputi:
- Kepmenkes RI no. 1464/Menkes/X/2010
Memberikan pertimbangan, pembinaan, pengawasan, dan mengikut sertakan terhadap
semuaprofesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
- Peraturan Pemerintah no. 1464 Tahun 2010 BAB V Pasal 21
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi
dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dan melindungi
masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
kesehatan
- Surat keputusan Menteri Kesehatan no. 640/Menkes/Per/X/1991, tentang pembentukan MP2EPM
Dasar Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan atau MDTK adalah sebagai berikut:
- Pasal 14 Ayat 1 UUD 1945
- UU no. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
- KEPRES tahun 1995 Tentang Pembentukan MDTK
Tugas Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan
atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
· Tugas dan
Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat
- Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga kesehatan kepada Menteri
- Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan kode etik kedokteran gigi, perawat, bidan, sarjana farmasi dan rumah sakit.
- Menyelesaikan persoalan, menerima rujukan dan mengadakan konsultasi dengan instansi terkait.
- MP2EMP pusat atas Menteri yang berwenang mereka yang ditunjuk mengurus persoalan etik tenaga kesehatan
· Tugas dan
Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
- Menerima dan memberi pertimbangan, mengawasi persoalan kode etik dan mengadakan konsultasi dengan instasi terkait dengan persoalan kode etik.
- Memberi nasihat, membina dan mengembangkan serta mengawasi secara aktif etik tenaga profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya bekerja sama dengan organisasi profesi seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI, ISFI, PRSW2.
- Memberi pertimbangan dan saran kepada instansi terkait.
- MP2EPM propinsi atas nama kepala kantor wilayah departemen kesehatan propinsi berwenang memanggil mereka yang bersangkutan dalam suatu etik profesi.
d)
Majelis
Etika Profesi Bidan
1. Pengertian Majelis Etika Profesi
Pengertian
majelis etika profesi merupakan badan perlindungan hukum terhadap para bidan
sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan
dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum. Realisasi Majelis Etika
Profesi Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).
Pelaksanaan
tugas bidan dibatasi oleh norma, etika dan agama. Tetapi apabila ada kesalahan
dan menimbulkan konflik etik, maka diperlukan wadah untuk menentukan standar
profesi, prosedur yang baku dan kode etik yang di sepakati, maka perlu di
bentuk Majelis Etika Bidan, yaitu MPEB dan MPA.
Tujuan
dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk memberikan perlindungan yang
seimbang dan objektif kepada Bidan dan Penerima Pelayanan.
2. Unsur-Unsur Majelis Pertimbangan
Etika Bidan
MPEB merupakan badan perlindungan
hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat
pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum.
Latar belakang dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika
Bidan atau MPEB adalah adanya unsur-unsur pihak-pihak terkait:
- Pemeriksa pelayanan untuk pasien
- Sarana pelayanan kesehatan
- Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan
3. Tujuan MPEB
Tujuan
Pembentukan MPEB
Tujuan
dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika Bidan adalah untuk memberikan
perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan dan penerima pelayanan.
Dengan kata
lain, untuk memberikan keadilan pada bidan bila terjadi kesalahpahaman dengan
pasien atas pelayanan yang tidak memuaskan yang bisa menimbulkan tuntutan dari
pihak pasien. Dengan catatan, bidan sudah melakukan tugasnya sesuai dengan
standar kompetensi bidan dan sesuai dengan standar praktek bidan.
Tujuan
Keberadaan MPEB, yaitu:
- Meningkatkan Citra IBI dalam meningkatkan Mutu Pelayanan yang diberikan.
- Terbentuknya lembaga yang akan menilai ada atau tidaknya pelanggaran terhadap kode etik bidan Indonesia.
- Meningkatkan Kepercayaan diri anggota IBI.
- Meningkatkan kepecayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan.
4. Lingkup Majelis Etika Kebidanan,
meliputi:
- Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi pelayanan bidan (Permenkes No. 1464/Menkes/PER/2010/tahun 2010).
- Melakukan supervise lapangan, termasuk tentang teknis dan pelaksanaan praktik, termasukpenyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan Standar Praktik Bidan, Standar Profesi dan Standar Pelayanan Kebidanan, juga batas-batas kewenangan bidan.
- Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik kebidanan.
- Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang umum kesehatan, khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik bidan.
5. Perorganisasian Majelis Etik
Kebidanan, adalah sebagai berikut:
- Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisasi yang mandiri, otonom dan non struktural.
- Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi dan pusat.
- Majelis etik kebidanan pusat berkedudukan di ibu kota negara dan majelis etik kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
- Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris.
- Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang
- Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selama tiga tahun dan sesudahnya, jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan yang berlaku, maka anggota tersebut dapat dipilih kembali.
- Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh menteri kesehatan
- Susunan organisasi majelis etik kebidanan terdiri dari:
- Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan dibidang hukum
- Sekretaris merangkap anggota
- Anggota majelis etik bidan
6. Tugas MPEB
MPEB dan MPA merupakan majelis
independen yang berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pengurus inti dalam IBI
tingkat nasional. MPEB secara internal memberikan saran, pendapat dan buah
pikiran tentang masalah pelik yang sedang dihadapi khususnya yang menyangkut
pelaksanaan kode etik bidan dan pembelaan aggota.
DPEB dan MPA memiliki tugas antara lain:
- Mengkaji
- Menangani
- Mendampingi anggota yang mengalami permasalahan dalam praktek kebidanan yang berkaitan dengan permasalahan hukum.
Dalam
menjalankan tugasnya, sehubungan dengan pelaksanaan kode etik profesi, bidan
dibantu oleh suatu lembaga yang disebut Majelis Pertimbangan Kode Etik Bidan
Indonesia dan Majelis Pertimbangan Etika Profesi Bidan Indonesia.
Tugas secara
umum ialah:
- Merencanakan dan melaksanakan kegiatan bidang sesuai dengan ketetapan pengurus pusat.
- Melaporkan hasil kegiatan di bidang tugasnya secara berkala.
- Memberikan saran dan pertimbangan yang perlu dalam rangka tugas pengurus pusat.
- Membentuk tim teknis sesuai kebutuhan, tugas dan tanggung jawabnya ditentukan pengurus.
Tugas
Majelis Etik Kebidanan adalah sebagai berikut:
- Meneliti dan menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh bidan
- Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien dan keluarga yang dirugikan oleh pelayanan kebidanan
- Permohonan secara tertulis dan disertai data-data
- Keputusan tingkat propinsi bersifat final dan bisa konsultasi ke majelis etik kebidanan pada tingkat pusat
- Sidang majelis etik kebidanan paling lambat tujuh hari, setelah diterima pengaduan. Pelaksanaan sidang menghadirkan dan meminta keterangan dari bidan dan saksi-saksi
- Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang
- Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan daerah IBI ditingkat propinsi
7. Peran
Majelis Pertimbangan Etika Bidan
(MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA) secara internal berperan memberikan
saran, pendapat dan buah pikiran tentang masalah pelik yang sedang dihadapi
khususnya yang menyangkut pelaksanaan kode etik bidan dan pembelaan anggota.
8. Fungsi
Dewan Pertimbangan Etika Bidan
(DPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA) memiliki fungsi, antara lain:
- Merencanakan dan melaksanakan kegiatan bidan sesuai dengan ketetapan pengurus pusat
- Melaporkan hasil kegiatan sesuai dengan bidang dan tugasnya secara berkala
- Memberikan saran dan pertimbangan yang perlu dalam rangka tugas pengurus pusat
- Membentuk Tim Teknis sesuai dengan kebutuhan
e)
Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat
1.
Memberi pertimbangan
tentang etik dan standar profesi tenaga kesehatan kepada menteri
2.
Membina, mengembangkan,
dan mengawasi secara aktif pelaksanaan kode etik kedokteran gigi, perawat,
bidan, sarjana farmasi, dan rumah sakit.
3.
Menyelesaikan persoalan,
menerima rujukan dan mengadakan konsultasi dengan instasi terkait
4.
MP2EPM pusat atas
Menteri yang berwenang mereka yang ditunjuk mengurus persoalan etik tenaga
kesehatan.
f)
Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
1.
Menerima dan memberi
pertimbangan, mengawasi persoalan kode etik, dan mengadakan konsultasi dengan
instansi terkait dengan persoalan kode etik.
2.
Memberi nasihat, membina
dan mengembangkan serta mengawasi secara aktif etik profesi tenaga kesehatan
dalam wilayahnya bekerjasama dengan organisasi profesi seperti IDI, PDGI, PPNI,
IBI, ISFI, PRS21
3.
Memberi pertimbangan dan
saran kepada instansi terkait.
4.
MP2EPM propinsi atas
nama Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi berwenang memanggil
mereka yang bersangkutan dalam suatu etik profesi.
g)
Badan Konsil Kebidanan
Dalam organisasi profesi bidan Indonesia hingga saat ini belum terbentuk
badan konsil kebidanan. Secara konseptual badan konsil merupakan badan yang
dibentuk dalam rangka melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Konsil kebidanan Indonesia merupakan
lembaga otonom dan independent, bertanggung jawab kepada President sebagai
Kepala Negara.
1.
Tugas Badan Konsil
Kebidanan
a.
Melakukan registrasi
tenaga bidan
b.
Menetapkan standar
pendidikan bidan
c.
Menapis dan merumuskan
arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.
Melakukan pembinaan
terhadap pelanggaran praktik kebidanan.
Konsil kebidanan Indonesia berfungsi mengatur, menetapkan serta membina
tenaga bidan yang menjalankan praktik kebidanan dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.
2.
Wewenang badan konsil
kebidanan meliputi:
a.
Menetapkan standar
kompetensi bidan
b.
Menguji persyaratan
registrasi bidan
c.
Menyetujui dan menolak
permohonan registrasi
d.
Menerbitkan dan mencabut
sertifikat registrasi
e.
Menetapkan teknologi
kebidanan yang dapat diterapkan di Indonesia
f.
Melakukan pembinaan
bidan mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan organisasi profesi.
g.
Melakukan pencatatan
bidan yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi.
3.
Keanggotaan konsil
kebidanan
a.
Dari unsur departemen
kesehatan 2 orang
b.
Lembaga konsumen 1 orang
c.
Bidan 10 orang
d.
Organisasi profesi
terkait 4 orang
e.
Ahli hukum 1 orang
4.
Persyaratan anggota
konsil
a.
Warga negara Indonesia
b.
Sehat jasmani dan rohani
c.
Berkelakuan baik
d.
Usia sekurangnya 40
tahun
e.
Pernah praktik kebidanan
minimal 10 tahun
f.
Memiliki moral etika
yang tinggi
5.
Keanggotaan konsil
berhenti karena:
a.
Berakhir masa jabatan
sebagai anggota
b.
Meninggal dunia
c.
Mengundurkan diri
d.
Bertempat tinggal di
luar wilayah Republik Indonesia
f.
Diberhentikan karena
melanggar aturan konsil
6.
Mekanisme tata kerja
konsil
a.
Memelihara dan menjaga
registrasi bidan
b.
Mengadakan rapat pleno,
dikatakan sah bila dihadiri separuh tambah 1 unsur pimpinan harian
c.
Rapat pleno memutuskan:
d.
Konsil kebidanan
melakukan rapat pleno sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun
e.
Konsil kebidanan daerah
hanya mengambil keputusan yang berkaitan dengan persoalan etik profesi
f.
Ketua konsil, wakil
ketua konsil, ketua komite registrasi dan ketua komite peradilan profesi
merupakan unsur pimpinan harian konsil.
B.
KETERKAITAN ANTARA PRAKTEK KEBIDANAN DENGAN HUKUM
Pada
dasarnya dalam praktik sehari hari, pasien yang datang untuk berobat ke tempat
praktik dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan
tindakan rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang
lebih kompleks biasanya dokter akan memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk
mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan untuk dilakukan suntikan.
Bidan
merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau standar profesi.
Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam KEPMENKES RI No.
369/MENKES/SK/III/2007 yang berisi mengenai latar belakang kebidanan. Berbagai
defenisi dalam pelayanan kebidanan. Berbagai defenisi dalam pelayanan
kebidanan, falsafah kebidanan, paradigma kebidanan, ruang lingkup kebidanan,
standar praktek kebidanan, dan kode etik bidan di Indonesia.
1.
PelayananKebidanan
Adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktek profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.
Adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktek profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.
2.
Falsafah Kebidanan
a. Sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai pandangan hidup pancasila,
seorang bidan menganut filosofi yang mempunyai keyakinan di dalam dirinya bahwa
semua manusia adalah makhluk bio psiko sosio kultural dan spiritual yang unik
b. Manusia terdiri dari pria dan wanita yang kemudian kedua jenis individu
itu berpasangan menikah membentuk keluarga yang mempunyai anak
c. Bidan berkeyakinan bahwa setiap individu berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan manusia dan perbedaan
budaya
d. Persalinan adalah satu proses yang alami, peristiwa normal, namun
apabila tidak dikelolah dengan tepat dapat berubah menjadi abnormal
e. Setiap individu berhak untuk dilahirkan secara sehat untuk itu maka
setiap wanita usia subur, ibu hamil, melahirkan dan bayinya behak mendapatkan
pelayanan yang berkualitas
f. Pengalaman melahirkan anak merupakan tugas perkembangan keluarga, yang
membutuhkan persiapan
g. Kesehatan ibu periode reproduksi dipengaruhi oleh perilaku ibu,
lingkungan dan pelayanan kesehatan
3.
Paradigma Kebidanan
Kebidanan dalam bekerja memberikan pelayanan
keprofesiannya berpegang pada paradigma berupa pandangan terhadap
manusia/wanita, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.
a. Wanita
Wanita/
manusia adalah makhluk biopsiko sosial kultural dan spiritual yang utuh dan
unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bemacam-macam sesual dengan tingkat perkembangannya.
b. Lingkungan
b. Lingkungan
Lingkungan merupakan semua yang ada di lingkungan dan
terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya.
c. Perilaku
‘
Perilaku merupakan hasil dari berbagai pengalaman
serta interaksi manusia dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan sikap dan tindakan.
d. Pelayanan kebidanan
d. Pelayanan kebidanan
Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga dalam
rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
e. Keturunan
Kualitas
manusia diantaranya ditentukan oleh keturunan. Manusia yang sehat dilahirkan
oleh ibu yang sehat. Hal ini menyangkut penyiapan wanita sebelum perkawinan,
masa kehamilan, masa kelahiran dan masa nifas.
4.
Lingkup Praktek Kebidanan
Lingkup prakek kebidanan yang digunakan meliputi asuhan mandiri/ otonomi pada anak-anak perem, remaja putri dan wanita desa sebelum, selama kehamilan dan selanjutnya. Hal ini berarti bidan membeirkan pengawasan yang diperlukan asuhan serta nasehat bagi wanita selama masa hamil, bersalin dan nifas.
Lingkup prakek kebidanan yang digunakan meliputi asuhan mandiri/ otonomi pada anak-anak perem, remaja putri dan wanita desa sebelum, selama kehamilan dan selanjutnya. Hal ini berarti bidan membeirkan pengawasan yang diperlukan asuhan serta nasehat bagi wanita selama masa hamil, bersalin dan nifas.
Standar Praktek Kebidanan
Standar I : Metode asuhan
Metode asuhan meliputi : pengumpulan data, penentuan diagnosa perencanan pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.
Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Standar III : Diagnosa kebidanan
Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan.
Standar IV : Rencana asuhan
Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan.
Standar V : Tindakan
Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien.
Standar VI : Partisipasi klien
Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/ partisipasi klien dan keluarga dalam rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.
Standar VII : Pengawasan
Monitor/pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.
Standar VII : Evaluasi
Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring dengan tindakan kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang tidak dirumuskan.
Standar IX : Dokumentasi
Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan kebidanan yang diberikan.
Standar I : Metode asuhan
Metode asuhan meliputi : pengumpulan data, penentuan diagnosa perencanan pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.
Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan klien dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Standar III : Diagnosa kebidanan
Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan.
Standar IV : Rencana asuhan
Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan.
Standar V : Tindakan
Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien.
Standar VI : Partisipasi klien
Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/ partisipasi klien dan keluarga dalam rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.
Standar VII : Pengawasan
Monitor/pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.
Standar VII : Evaluasi
Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring dengan tindakan kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang tidak dirumuskan.
Standar IX : Dokumentasi
Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan kebidanan yang diberikan.
C. KASUS
1.
Di sebuah desa terpencil seorang ibu mengalami pendarahan postpartum setelah
melahirkan bayinya yang pertama di rumah. Ibu tersebut menolak untuk diberikan
suntikkan uterotonika. Bila ditinjau dari hak pasien atas keputusan yang
menyangkut dirinya maka bidan bisa saja tidak memberikan suntikkan karena
kemauan pasien. Tetapi bidan akan berhadapan dengan masalah yang lebih rumit
bila terjadi pendarahan hebat dan harus diupayakan pertolongan untuk merujuk
pasien, dan yang lebih patal lagi bila pasien akhirnya meninggal karena
pendarahan. Dalam hal ini bisa dikatakan tidak melaksanakan tugasnya dengan
baik. Walapun bidan harus memaksa pasiennya untuk disuntik itulah
keputusan yang terbaik yang harus ia lakukan (dentology).
2.
Seorang ibu PP masuk kamar bersalin dalam keadaan inpartu. Sewaktu dilakukan
anamnesa dia mengatakan tidak mau di episiotomi. Sekarang ini pasen tersebut
berada dalam kala II dan kala II yang berlangsung agak lambat, tetapi ada
kemajuan. Perineum masih kaku dan tebal. Keadaan ini dijelaskan kepada ibu oleh
bidan, tetapi ibu tetap pada pendiriannya. Sementara waktu berjalan terus dan
bjj mulai menunjukkan keadaan yang tidak stabil/fetal distress dan ini
mengharuskan bidan untuk mempertimbangkan melakukan episiotomi, tetapi ibu
tersebut tidak menggubrisnya. Bidan berharap bayinya selamat. Sementara itu ada
bidan yang memberitahukan bahwa dia pernah melakukan hal ini tanpa persetujuan
pasen untuk melindungi bayinya. Jika bidan melakukan episiotomi tanpa
persetujuan pasen, maka bidan akan dihadapkan kepada sederetan tuntutan.
3.
Seorang bidan menangani seorang
ibu X primipara berusia 35 tahun. Bidan tersebut menggali informasi mulai dari
riwayat kesehatan keluarga. Kehamilan Ibu X berusia 14 minggu dan ini kehamilan
yang direncanakan. Pada akhir pertemuan Ibu X tersebut mengeluarkan pendapat
tentang persalinannya. Ibu X menyatakan tentang persalinan SC sebagai
pilihannya. Bidan menjelaskan bahwa persalinan SC untuk kasus komplikasi. Bidan
tersebut tidak melanjutkan diskusinya karena takut memberikan informasi yang
salah dan terjadi konflik. Maka bidan menyarankan Ibu X untuk konsultasi ke
dokter kandungan. Ada beberapa pertanyaan untuk bahan pertimbangan.
- Haruskah bidan tersebut meneruskan diskusi tentang persalinan SC sebagai Pilihan?
- Menurut anda apakah keinginan Ibu X untuk SC harus dipenuhi?
- Harukah persalinan SC menjadi satu pilihan untuk beberapa ibu, padahal tanpa indikasi?
4.
Seorang Ibu primigravida dengan umur kehamilan
27 minggu diperkirakan akan melahirkan bayi prematur. Di rumah sakit iya
melakukan berbagai pemeriksaan, se[erti pemeriksaan servix, usapan vagina dan
pemeriksaan urin. Ibu tersebut didiagnosis mengalami infeksi saluran kemih.
Penyebab kemungkinan kelahiran prematur pada ibu tersebut ternyata Gonore dan
Infeksi chlamydia. Sehingga pada hasil pemeriksaan vulva ibu terdapat sekret
yang mukopurulent, tampak kotor, basah, lembab dan berbau, serta terdapat
hiperemis didaerah sekitar vulva dan vagina. Kemudian setelah pemerilsaan, pada
saat istirahat bidan yang memeriksa ibu tersebut pada sejawat bidan yang lain
termaksud pada para mahasiswa calon bidan. Ada beberapa pertanyaan untuk
menjadi bahan pertimbangan :
- Apakah tindakan bidan tersebut melanggar kode etik.
- Bagaimana seharusnya tindakan bidan dalam menjamin privasi dan kerahasiaan klien?
Post a Comment