Selamat datang Iskandar Menulis.Com

Featured post

Membangun Hubungan Interpersonal Antara Pustakawan Dan Pemustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Konsep perpustakaan sebagai sebuah kesatuan organisasi yang terstuktur dalam tujuanya m...

MAKALAH KARAKTERISTIK SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN)

Wednesday, 3 December 20140 comments




MAKALAH
KARAKTERISTIK SOSIAL EMOSIONAL
ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan sosial adalah proses kemampuan belajar dan tingkah laku yang berhubungan dengan individu untuk hidup sebagai bagian dari kelompoknya. Di dalam perkembangan sosial, anak dituntut untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan tuntutan sosial di mana mereka berada. Tuntutan sosial yang dimaksud adalah anak dapat bersosialisasi dengan baik sesuai dengan tahap perkembangan dan usianya, dan cenderung menjadi anak yang mudah bergaul.
Perkembangan emosi yang terganggu. Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam hubungan dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara-saudaranya. Saat berhubungan dengan orang lain, terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupan anak yang dapat membentuk kepribadiannya, dan membentuk perkembangannya menjadi manusia yang sempurna.
Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang anak dalam lingkungan sosialnya sangat dipengaruhi oleh kondisi emosinya. Perkembangan emosi seorang anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.  Suatu hal yang sangat bijak apabila kita mampu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membantu perkembangan emosi anak.
Emosi merupakan suatu gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri individu. Emosi juga berfungsi untuk mencapai pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu.
Pada saat anak masuk Kelompok Bermain atau juga PAUD, mereka mulai keluar dari lingkungan keluarga dan memasuki dunia baru. Peristiwa ini merupakan perubahan situasi dari suasana emosional yang aman, ke kehidupan baru yang tidak dialami anak pada saat mereka berada di lingkungan keluarga. Dalam dunia baru yang dimasuki anak, ia harus pandai menempatkan diri diantara teman sebaya, guru dan orang dewasa di sekitarnya.
Tidak setiap anak berhasil melewati tugas perkembangan sosioemosional pada usia dini, sehingga berbagai kendala dapat saja terjadi. Sebagai pendidik sepatutnyalah untuk memahami perkembangan sosioemosional anak sebagai bekal dalam memberikan bimbingan terhadap anak agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sosial dan emosinya dengan baik.
Untuk maksud tersebut di atas, dalam makalah ini akan dibahas tentang : Pengertian perkembangan emosi dan perkembangan sosial anak; karakteristik perkembangan sosioemosional anak Usia 3-6 tahun (usia prasekolah) ; faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan sosioemosional anak; metode pengembangan sosioemosional anak; dan evaluasi perkembangan sosioemosional anak di Taman Kanak-kanak.


1.2.        Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini”
2.    Penulis bertujuan untuk menambah pengetahuan, wawasan dan bagi pembaca sekalian agar mengetahui bagaimana karakteristik Sosial Emosional Anak Usia 3 – 6 tahun (usia prasekolah) ; faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan sosioemosional anak; metode pengembangan sosioemosional anak; dan evaluasi perkembangan sosioemosional anak di Taman Kanak-kanak.



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.  Defenisi pengembangan sosial emosional Anak
Perkembangan sosial merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat) , yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa dan seterusnya (Muhidin, 1999). Sedangkan Harlock (1978) menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sementara ahli yang lain menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan suatu proses di mana individu/anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial, terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan kelompoknya serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti anak lain dalam lingkungan sosialnya.(Loree, 1970).
Lebih lanjut dikatakan bahwa perkembangan sosioemosional meliputi perkembangan dalam hal emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal (Papalia, 2004). Pada tahap awal masa kanak-kanak, perkembangan sosial emosional berkisar tentang proses sosialisasi, yaitu proses ketika anak mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang diterima dari masyarakat (Dodge, 2002).

2.2.  Karakteristik Sosial Emosional Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun)
Ada yang memandang anak sebagai makhluk yang sudah terbentuk oleh bawaannya, atau memandang anak sebagai makhluk yang dibentuk oleh lingkungannya. Ada ahli lain yang menganggap anak sebagai miniatur orang dewasa, dan ada pula yang memandang anak sebagai individu yang berbeda total dari orang dewasa. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin.
Maria Montessori (Elizabeth B. Hurlock, 1978 : 13) berpendapat bahwa usia  3 - 6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya.
Adapun karakateristik anak usi prasekolah menurut tahapan perkembangan erikson adalah :

1.    Inisiatif vs Rasa Bersalah
Ini adalah tahapan perkembangan anak menurut Erikson bahwa pada masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan Inisiatif vs Rasa Bersalah. Pada masa ini  anak dengan segala kecakapannya anak mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya. Mereka mencoba melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut terbatas adakalanya ia mengalami kegagalan, dan kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan anak memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat. Akan tetapi bila anak-anak pada masa ini bila mendapatkan pola asuh yang salah, mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri. Sikap berdiam diri yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari suatu kesalahan-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan.
Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa. Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Pada masa ini terjamin tidaknya kesempatan untuk berprakarsa (dengan adanya kepercayaan dan kemandirian yang memungkinkan untuk berprakarsa) akan menumbuhkan kemampuan berprakarsa, sebaliknya  kalau terlalu banyak dilarang dan ditegur, anak akan diliputi perasaan serba salah dan berdosa.
Dalam keseharian bisa kita amati tentang perkembangan dari fase ini yaitu inisiatif dan merasa bersalah :
“Ada seorang anak berusia 5 tahun, sebut saja namanya Rina pada dasarnya ia cukup cerdas dan selalu ingin tahu tentang sesuatu. Suatu ketika ia membuka lemari es, ia melihat botol minumannya kosong. Rina langsung ke dapur membawa botol minumannya yang kosong dan menuangkan air kedalam botolnya namun airnya tumpah. Ibunya melihat aktifitas anaknya namun tidak memarahi anaknya dan memberi kesempatan untuk mencobanya lagi dan dafa tidak putus asa untuk mencobanya lagi sekarang dafa menggunakan bantuan alat (corong) untuk menuangkan air tersebut kedalam botol dan akhirnya berhasil.”
Dari cerita di atas dapat kita fahami, bila lingkungan mendukung proses prakarsa, maka anak akan dapat melaksanakan  dan membuktikan prakarsanya dengan senang hati, sebaliknya bila lingkungannya tidak memberi dukungan maka prakarsa itu tidak dapat terwujud dan cenderung membuat anak merasa bersalah dan tidak mau mencoba lagi.
            Selain karakteristik diatas, Kartini Kartono (1986 :113) menyebutkan ciri khas  anak taman kanak-kanak adalah :
2.    Cenderung Bersifat Egoentris
Seorang anak yang egosentris naïf memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit. Anak sangat terpengaruh oleh akalnya yang masih sederhana sehingga tidak mampu menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Anak belum memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa dan belum mampu menempatkan diri ke dalam kehidupan atau pikiran orang lain. Anak sangat terikat pada dirinya sendiri. Ia menganggap bahwa pribadinya adalah satu dan terpadu erat dengan lingkungannya, ia belum mampu memisahkan dirinya dari lingkungannya. Sikap egosentris yang naif ini bersifat temporer atau sementara, dan senantiasa dialami oleh setiap anak dalam proses perkembangannya.Anak belum dapat memahami bahwa suatu peristiwa tertentu bagi orang lain mempunyai arti yang berbeda, yang lain dengan pengertian anak tersebut.
Contoh sikap egosentris pada anak dapat disimak dalam ilustrasi berikut: “Deni anak berusia 3 tahun bermain bola dengan temannya yang seusia. Satu waktu mereka berebut bola dan saling memukul, akhirnya temannya menangis. Hal ini terjadi karena Deni tidak mau memberikan mainan tersebut pada temannya. Ibunya mencoba menengahi sikap Deni dengan memberi mainan bola lainnya, dengan harapan mereka bermain sendiri-sendiri. Tapi ternyata Deni malah menangis dan menginginkan dua bola itu dimainkannya sendiri”.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa anak seusia Deni masih memandang segala sesuatu dari pikiran dan keinginan dirinya, ia belum tahu bahwa orang lain memiliki pandangan dan keinginan yang berbeda, yang ia tahu bahwa keinginannya harus terpenuhi.
3.    Sosial Yang Primitif (belum bisa berempati dengan lingkungan sekitar)
Relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egosentris yang naif. Ciri ini ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara keadaan dirinya dengan keadaan lingkungan sosial sekitarnya. Artinya anak belum dapat membedakan antara kondisi dirinya dengan kondisi orang lain atau anak lain di luar dirinya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap benda-benda dan  peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Dengan kata lain anak membangun dunianya dengan khayalan dan keinginannya sendiri. Relasi sosial anak dengan lingkungannya masih sangat longgar, hal ini disebabkan karena anak belum dapat menghayati kedudukan diri sendiri dalam lingkungannya.
Anak belum sadar dan mengerti adanya orang lain dan benda lain di luar dirinya yang sifatnya berbeda dengan dia. Anak berkeyakinan bahwa orang lain menghayati dan merasakan suatu peristiwa sama halnya dengan penghayatannya sendiri. Ilustrasi tentang relasi sosial anak nampak dalam contoh berikut ini :
“Ani belajar di taman kanak-kanak kelompok A. Setiap hari Ani membawa bekal makanan. Satu waktu teman sebelah Ani menangis karena tidak membawa bekal makanan, tapi Ani dengan enaknya memakan bekalnya dan tidak mempedulikan bahwa teman di sampingnya tidak membawa bekal makanan. Guru melihat kondisi
itu, akhirnya mengajak anak-anak untuk mau membagi bekal makanannya kepada
teman yang tidak membawa bekal”.
Dari ilustrasi di atas dapat difahami bahwa pada dasarnya anak belum memiliki pemahaman bahwa orang lain berbeda dengan dirinya. Anak masih menganggap bahwa orang lain sama dengan dirinya. Pada masa ini anak perlu diajari bagaimana memahami kondisi orang lain dan mau berbagi dengan orang lain.

4.    Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan
Dunia lahiriah dan batiniah anak belum dapat dipisahkan, anak belum dapat membedakan keduanya. Isi lahiriah dan batiniah masih merupakan kesatuan yang
utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan, dan jujur baik dalam mimik, tingkah laku maupun bahasanya. Anak tidak dapat berbohong atau bertingkah laku pura-pura, anak mengekspresikannya secara terbuka.
Ilustrasi tentang kesatuan jasmani dan rohani anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Aulia seorang anak berusia 4 tahun sedang bermain dengan temannya, tiba-tiba temannya berbuat licik dan Aulia menangis. Aulia menangis tidak hanya mengeluarkan air mata namun juga mengeluarkan suara yang keras, dan anggota tubuhnya berguncang-guncang digerakkan oleh suasana hati yang tidak menyenangkan”.
Ekspresi rasa kekesalan atau ketidaksenangan anak seperti Aulia ditunjukkan tidak hanya dengan mengeluarkan air mata sebagai tanda menangis, tapi anak seusia Aulia menunjukkannya dengan mengungkapkan kata-kata tidak senang dengan nada yang keras dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang lain. Ekspresi ini merupakan wujud masih bersatunya jasmani dan rohani anak. Anak belum dapat menunjukkan ketidaksenangannya hanya dengan menangis atau mengungkapkannya dengan kata-kata.

5. Sikap hidup yang fisiognomis.
Anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan atribut/sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang dihayatinya. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa yang dihadapinya masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang ada di sekitarnya dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang
memiliki jasmani dan rohani sekaligus, seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu anak pada usia ini sering bercakap-cakap dengan binatang, boneka dan sebagainya.
Ilustrasi tentang sikap fisiognomis pada anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Ayu anak berusia 4,5 tahun sedang bermain boneka di teras rumahnya. Ia memegang-megang badan dan kening boneka itu sambil berkata “Kamu kenapa,
kok badannya panas. Kamu sakit ya?”., saya kasih obat ya biar sembuh”.
Contoh di atas menggambarkan bahwa anak menganggap boneka mainannya merupakan benda hidup yang dapat sakit seperti dirinya. Sikap Ayu seperti ini menunjukkan bahwa Ayu masih bersifat fisiognomis.
            Namun dalam keseharian karakteristik umum yang sering kita jumpai pada usia prasekolah adalah :
6.    Rasa Ingin Tahu Yang Besar

Anak memiliki rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru. Reaksi terhadap rasa ingin tahu itu adalah dengan penjelajahan sensorimotor maupun verbal dengan cara bertanya. Menurut para ahli perkembangan anak, ada dua alasan mengapa anak usia 3 sampai 5 tahun senang sekali bertanya. 
Pertama, pada usia ini, mereka memiliki rasa ingin tahu alamiah yang sangat penting bagi perkembangan mental mereka. Munculnya rentetan pertanyaan ini adalah tanda bahwa anak sedang mengalami perkembangan intelektual yang pesat. Sebelumnya, anak mudah menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Namun seiring dengan kematangan mentalnya, anak membutuhkan penjelasan yang lebih.
Kedua, pada usia ini, seiring dengan perkembangan bahasa dan pemahamannya anak memiliki kebutuhan yang sangat besar untuk melakukan percakapan dengan orang tuanya dan juga mendapatkan perhatian dari anda.
            Sebagai orang tua atau pendidik harus Konsisten dengan fakta Jangan berikan jawaban tak logis atas pertanyaannya. Dukung keingintahuan anak dengan memberikan jawaban terbaik. Jangan merasa lelah menjawab dari setiap pertanyaannya karena pada usia ini pembentukan kognitif anak berkembang sangat pesat.  Selalu berikan jawaban yang sesuai dengan kenyataan atau fakta yang berlaku secara umum. Namun jangan gunakan bahasa yang terlalu rumit dan hindari istilah teknis karena anak balita tak akan memahaminya.





7.     Suka Meniru

Meniru, yaitu agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku orang yang sangat di kagumi. Anak suka meniru adalah bagus karena baik untuk perkembangan kognitifnya. Pada masa ini anak suka meniru apa saja dari apa yang ia lihat, didengar dan dirasakan tanpa mengerti apakah perilaku tersebut berpengaruh baik atau buruk bagi dirinya.
Oleh karena itu peran orang tua dan pendidik sangat diperlukan diantaranya : Selalu menanamkan nilai-nilai positif sedini mungkin. Penanaman nilai-nilai positif juga harus diikuti dengan pembiasaan yang dilakukan orangtua. Misal, berkata sopan pada siapa saja terutama orang yang lebih tua tanpa memandang status sosialnya. Bila kebiasaan ini telah tertanam kuat, akan terbawa sampai kapan pun, sekalipun lingkungan memengaruhi untuk berkata kasar atau mengumpat.
Selalu berkomunikasi dengan anak. Komunikasi yang lancar antara orangtua dan anak juga menjadi media efektif untuk menghalangi derasnya pengaruh negatif dari lingkungan. Usahakan komunikasi dengan pihak sekolah juga lancar. Jadi sekiranya orangtua tahu kalau si A teman sekolah anak yang mengajari teman-temannya berkata kasar atau mengumpat atau menyontek, bisa dilaporkan pada guru kelas untuk diambil tindakan.
Selalu mengingatkan adanya batasan. Pembatasan bukan berarti melarang sama sekali. Pembatasan di sini artinya, anak boleh bermain dengan siapa saja tapi ada aturan mainnya. Misal, batasan berapa lama ia boleh bermain dengan teman-temannya di luar sana, atau sekiranya teman mainnya ini sudah terbukti memberi pengaruh negatif karena suka membolos, orangtua bisa memberikan batasan yang wajar.

Bottom of Form

8.    Adanya perasaan ingin bersaing
Bersaing yaitu keinginan  untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain. Persaingan biasanya sudah tampak pada usia empat tahun.

Perilaku bersaing yang sering ditunjukkan oleh anak misalnya merasa paling cepat, paling cantik, paling berani, paling trampil, dsbnya sehingga tak jarang akhirnya berujung pertengkaran, permusuhan, sikap tidak mau mengalah, iri terhadap kelebihan orang lain, dll sehingga hal ini sering  dinilai perilaku yang buruk  oleh orang tua. Sehingga orang tua akan bersikap tidak bijaksana terhadap anak seperti melarang atau memarahi anak setiap kali ia menunjukkan sikap bersaing. Padahal sikap ini akan berdampak buruk pada anak, yaitu hilangnya kesempatan untuk mengenal dirinya sendiri, kehilangan daya juang dan kesempatan untuk berlatih menjadi pribadi yang tangguh, mandiri dan percaya diri.
Melalui aktivitas bersaing, anak juga bisa membuktikan bahwa dirinya mampu menentukan sendiri atau berbuat sesuatu agar ia diakui keberadaannya, dimana hal ini sangat penting untuk membangun egonya. Selain itu melalui kesempatan bersaing, anak juga bisa memperoleh pengalaman gagal atau berhasil, yang bisa membuatnya lebih matang dan percaya diri. Untuk dapat memperoleh manfaat yang optimal dari adanya aktivitas bersaing, diperlukan peran orangtua, terutama dalam hal membangun kemampuan anak untuk dapat menerima diri apa adanya, mengakui kelebihan orang lain serta mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang dialaminya agar dapat mendorong peningkatan kemampuannya di kemudian hari.
Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua untuk memberikan manfaat yang optimal dari adanya aktivitas bersaing anak adalah sbb:
1.    Memberi kesempatan pada anak untuk bersaing dengan menggunakan kemampuannya sendiri. Berikan semangat dan biarkan anak yang berusaha sendiri dan merasakan kemungkinan gagal atau berhasil. Tanamkan pada diri anak pentingnya sikap berani mengakui kekalahan dan rendah hati bila memenangkan persaingan.
2.    Ajari anak untuk memperhatikan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam kegiatan bersaing, seperti tidak boleh menyakiti teman, berbuat curang atau bersifat tidak setiakawan dalam berusaha mencapai kemenangan. Berikan pengertian dan contoh-contoh pada anak bahwa dalam kehidupan nyata, seseorang tidak hanya membutuhkan persaingan tetapi juga butuh kerjasama dan sikap saling menghargai.
3.    Hargai usaha anak sekalipun ia gagal memenangkan persaingan. Tekankan bahwa proses atau usaha maksimal yang telah dilakukan anak lebih penting ketimbang hasil akhir.
4.    Tunjukkan pada anak bahwa orangtua tidak menuntut anak selalu menjadi nomor satu, hal ini dimaksudkan agar anak tidak tumbuh menjadi seorang yang selalu ingin menang sendiri, tidak pernah puas dan menjadi anak yang terlalu terobsesi terhadap keberhasilan yang dapat membuatnya frustrasi bila suatu saat mengalami kegagalan.
5.    Jadikan situasi persaingan sebagai suatu hal yang harus dihadapi, bukan suatu hal yang harus dihindari. Yang penting, bekali anak dengan pengetahuan dan tanamkan kepercayaan dirinya bahwa selama ia mau belajar dan berusaha, ia pasti akan mampu menghadapi kerasnya persaingan.

2.3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan  Sosial-Emosional Anak
Perkembangan emosional anak tidak selamanya stabil. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas emosi dan kesanggupan sosial anak, baik yang berasal dari anak itu sendiri maupun berasal dari luar dirinya. Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak.
a. Keadaan di dalam individu
Keadaan individu seperti usia, keadaan fisik, intelegensi, peran seks dan lain-lain (Harlock, 1980) dapat mempengaruhi perkembangan individu. Hal yang cukup menonjol terutama berupa cacat tubuh atau apapun yang dianggap oleh diri anak sebagai kekurangan akan sangat mempengaruhi perkembangan emosinya.
b. Konflik-konflik dalam proses perkembangan
Di dalam menjalani fase-fase perkembangan, tiap anak harus melalui beberapa macam konflik yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses, tetapi ada juga anak yang mengalami gangguan atau hambatan dalam menghadapi konflik-konflik ini. Anak yang tidak dapat mengatasi konflik-konflik tersebut biasanya mengalami gangguan emosi.
c. Sebab-sebab yang bersumber dari lingkungan
 Anak-anak hidup dalam 3 macam lingkungan yang mempengaruhi perkembangan emosinya dan kepribadiannya. Ketiga faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan tersebut adalah :
1) lingkungan keluarga
Keluarga sangat berperan dalam menanamkan dasar-dasar pengalaman emosi. Jika secara umum ekspresi emosi cenderung ditolak oleh lingkungan keluarga maka hal tersebut memberi isyarat bahwa emotional security yang ia dapatkan dari keluarga kurang memadai. Dalam kondisi seperti ini anak mudah marah, cepat menangis, dsb, sehingga ia sukar bergaul. Gaya pengasuhan yang diperoleh anak dari keluarga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak.
2) lingkungan sekitarnya
Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi emosi anak antara lain :
a) daerah yang terlalu padat
b) daerah yang memiliki angka kejahatan tinggi
c) kurangnya fasilitas rekreasi
d) tidak adanya aktivitas-aktivitas yang diorganisasi dengan baik untuk anak.
3) lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan gangguan emosi dan menyebabkan terjadinya tingkah laku pada anak antara lain :
a) hubungan yang kurang harmonis antara anak dan guru
b) hubungan yang kurang harmonis dengan teman-teman
Sedangkan perkembangan sosial anak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.
 1) lingkungan keluarga
Di antara faktor yang terkait dengan lingkungan keluarga dan banyak berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak adalah :
a) status sosial ekonomi keluarga
b) keutuhan keluarga
c) sikap dan kebiasaan orang tua
2) faktor dari luar rumah
Jika hubungan mereka dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah menyenangkan, mereka akan menikmati hubungan sosial tersebut dan ingin mengulanginya. Demikian pula hal yang sebaliknya.
3) faktor pengaruh pengalaman sosial awal
Pengalaman sosial awal sangat menentukan perilaku kepribadian selanjutnya.

2.4. Metode Pengembangan Sosial Emosional di Taman Kanak-kanak
Beberapa metode pengembangan sosial emosional yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pengelompokan anak dan bermain kooperatif
Melalui pengelompokan, anak akan saling mengenal dan berinteraksi secara intensif dengan anak lain melalui kegiatan kerja sama dan bermain kooperatif. Dimana permainan ini melibatkan sekolompok anak, dan setiap anak mendapat peran dan tugas masing-masing yang harus dilkaukan untuk mencapai tujuan bersama. Pada usi tiga tahun terakhir anak sudah mulai bermain secara bersama dan kooperatif, serta kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat baik dalam frekuensi maupun lamanya berlangsung.


Bermain kooperatif
b. Belajar berbagi
Belajar berbagi merupakan latihan keterampilan sosial yang sangat baik bagi anak. Melalui kegiatan ini anak akan belajar berempati terhadap anak lain,   bermurah hati, bersikap sosial serta berlatih meninggalkan sifat egosentris.
Dalam penerapannya pada anak taman kanak-kanak bisa saja kita buat jadwal setiap hari jum’at adalah hari buah dan hari bersedekah, setiap anak bebas membawa buah yang ia sukai kemudian buah tersebut dikumpulkan dan makan bersama teman-teman disekolah dengan beraneka buah. Dan juga bersedekah kepada anak yatim dan fakir miskin, dalam hal ini juga dituntut komunikasi  guru dan orang tua dimana uang sedekah masing-masing anak tersebut akan dimasukkan pada sebuah celeng, dan pada masanya akan uang tabungan tersebut akan diberikan kepada anak yatim atau fakir yang ada dilingkungan sekolah maupun luar sekolah. Disini kita melatih anak mempunyai rasa empati, murah hati, saling menyayangi, dan turut merasakan penderitaan orang lain dengan berbagi.


                                 Belajar berbagi
c. Bermain Peran
Bermain peran disebut juga main simbolik, pura-pura, fantasi, imajinasi dan main drama. Dengan bermain peran ini sangat baik untuk melatih kognisi, sosial, emosional anak pada usia 3-6 tahun. Bermain peran menunjukkan daya berfikir anak sudah tinggi, karena anak sudah dapat melakukan perannya sesuai dengan pengalaman yang didapat melalui panca indra dan memerankan kembali dengan berpura-pura.


                       Bermain Peran
2.5. Tekhnik evaluasi perkembangan sosioemosional anak di PAUD/TK
Untuk mengetahui sejauhmana tingkat perkembangan sosialemosional anak, ada beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan pengamatan, anecdotal record, daftar check, analisis foto, dan dokumentasi visual lainya, serta analisis karya anak.
a. Pengamatan
Pengamatan adalah proses memperhatikan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan atau melakukan permainan, tanpa mencampuri kegiatan anak tersebut. Dalam kegiatan ini seorang guru harus peka, terperinci, dan deskriptif.
b. Anecdotal record
Adalah suatu pendokumentasian kegiatan atau perilaku yang teramati berupa catatan ringkas. Pengamatan guru dapat dituangkan ke dalam tiga atau empat kalimat.
c. Daftar check
Daftar check dapat digunakan sebagai suatu cara untuk mendokumentasikan kejadian penting tertentu yang berkaitan dengan perkembangan anak, suatu tujuan tertentu, atau sasaran instruksional.
Contoh.
Alat penilaian perkembangan sosial anak usia 3 tahun, dalam hal berbagi
Berbagi
Tampak
Tak Tampak
Komentar
·         Menerima alternatif-alternatif
·         Memberikan mainan pada anak
lain
·         Membiarkan anak lain selesaikan sesuatu
·         Mengambil barang anak lain dengan sopan




d. Analisis foto dan alat lain
Pengumpulan informasi perkembangan anak melalui foto, VCD, atau tape recorder sangat menarik dan bermanfaat.
e. Analisis karya anak.
Dengan mengumpulkan karya anak (gambar dan hasil karya lain) guru dapat menganalisis perkembangan anak dari waktu ke waktu.

BAB III
KESIMPULAN


Dari uraian tentang perkembangan sosioemosional anak dapat disimpulkan tentang berbagai hal berikut.
1.    Perkembangan sosial anak adalah suatu proses dalam kehidupan anak untuk untuk berperilaku sesuai dengan norma atau aturan dalam lingkungan kehidupan anak.
2.    Secara umum anak memiliki Karakteristik sosial emosional diantaranya, Inisiatif dan rasa bersalah, egoensentris, sosial primitif, kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan, bersifat fisiognomis, rasa ingin tahu yang besar, suka bersaing,dll
3.    Perkembangan sosial individu mengikuti suatu pola, yaitu urutan perilaku sosial yang teratur, di mana pola tersebut sama untuk setiap anak secara normal
4.    Perkembangan sosioemosional anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar.
5.    Beberapa metode pengembangan sosial yang dapat dilakukan di Taman Kanak-kanak/paud antara lain : Pengelompokan anak dan bermain kooperatif, modelling belajar berbagi, bermain peran.
6.    Untuk mengetahui sejauhmana tingkat perkembangan sosialemosional anak, ada beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan pengamatan, anecdotal record, daftar check, analisis foto, dan dokumentasi visual lainya, serta analisis karya anak.


DAFTAR PUSTAKA
Bottom of Form



Kartono, Kartini. (1986).  Psikologi Anak. Bandung : Alumni.


hurlock, Elizabeth. B. (1978).
Child Development, Sixth Edition.
New York : Mc.
Graw Hill, Inc.
Maxim, George. W. (1985).
The Very Young Guiding Children from Infancy throug
h
the Early Years, Second Edition.
California : Wodsworth Publishing Company.
Perkembangan Anak Taman
Kanak-kanak
25
Munandar, Utami, (1995).
Dasar-dasar Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat
,
Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud.
Rachmawati, Yeni, & Kurniati, Euis. (2003).
Strategi Pengembangan Kreativitas Anak
Taman Kanak-kanak.
Jakarta. Dikti.
Roopnaire, J. L & Johnson, J.E. (1993).
Approaches to Early Childhood, Education,
2nd Edition
. New York : Merril.
Santrock, J.W, & Yussen, S.R. (1992).
Child Development, 5 th Ed.
Dubuque, IA,
Wm, C.Brown.
Seifert l.K. & Hafftong, J. R. (1991).
Child & Adolescent Development, Second
Edition.
Boston : Houghton Mifflin Co.
Solehuddin, M. (1997).
Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah
. Bandung : FIP UPI.
Spodek, Bernard. (1993).
Handbook of Research on the Education of Young Chil
dren.
New York : MacMillan Publishing Company.
Sukmadinata, Nana S. (1995).
Psikologi Pendidikan.
Bandung.
Vasta R & Haith, M.M & Miller, S. A. (1992).
Child Psychology The Modern Science.
Canada : John Wiley & Sons, Inc.
Yusuf, Syamsu. (2000).
Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung : Rosda
Karya.




Share this article :

Post a Comment

 
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger