BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam setiap penulisan suatu karya
tulis terdapat susunan atau sistematika yang membuat tulisan terlihat menarik
dan mudah dipahami oleh setiap orang yang membaca tulisan tersebut. Namun jika
tulisan tersebut tidak tersusun secara sistematik maka yang terjadi adalah
sebaliknya yaitu: orang akan susah dalam memahami suatu karya tulis.
Namun, apakah sistematika ini juga
berlaku dalam penulisan kitab-kitab fiqh dan buku-buku islam lainnya? Dan apakah ada perbedaan pembahasan masalah
pada masa dulu tepatnya masa tabi’in dengan masa setelahnya? Siapa orang
pertama yang menyusun fiqh secara sistematis?
Ada pergulatan sejarah yang panjang
dalam mengungkapkan atau menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, para
ahli telah menjawab pertanyaan tersebut dengan berbagai penelitiannya. Disini
pemakalah hanya ingin menyampaikan apa yang telah diteliti oleh para ahli.
B. Rumusan Masalah
A. Apa Pengertian ilmu fiqh?
B. Bagaimana Pengertian dan gambaran
fiqh?
C. Apa Pengertian Ushul Fiqh?
D. Apa Obyek Kajian Ushul Fiqh?
E. Apa Perbedaan Ushul Fiqh dan Qawa id
Kuliah?
F. Apa Isi dan Sistemtik Ushul Fiqh?
G. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan
Ushul Fiqh?
H. Jelaskan Ruang Lingkup Fiqh Siyasah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU FIQH
Hukum-hukum
fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama islam,karena islam merupakan
himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum amaliyyah.Hukum amaliyyah ini pada masa
Rasullulah saw,terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-qur’an ,dari
berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap
suatu kasus atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu
jawaban dari suatu pertanyaan .Kompilasi hukum-hukum fiqh pada periode yang
pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah,dan sumbernya adalah
al-qur’an dan as-sunnah.
Pada
masa sahabat mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya berbagai
hal baru yang hal itu tidak pernah dihadapi kaum muslim sebelumnya dan tidak
pernah muncul pada masa Rasulullah saw.maka berijtihadlah orang yang ahli
ijtidah diantara mereka,mereka memberikan putusan hukum,berfatwa,menetapkan
hukum syariat dan menambahkan sejumlah hukum yang mereka persembahkan melalui
ijtihad mereka kepada kompilasi hukum yang pertama itu.
Maka
pada periode kedua kompilasi hukum fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah dan
Rasulnya ,serta fatwa sahabat dan putusan mereka.Sedangkan sumbernya
al-qur’an,as-sunnah,dan ijtihad para sahabat.
Pada
kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkondifikasikan dan belum da
penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif. akan tetapi penetapan hukum
islam adalah berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan
kasus-kasus yang terjadi saja.Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk
ilmiah, akan
tetapi hanya sekedar suatu penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa
faktual. Kompilasi hukum ini belum pula dinamakan sebagai ilmu fiqh dan
tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat belum disebut sebagai fuqaha.
Pada
masa Tabi’in dan Tabi’it serta para imam mujtahid yaitu sekitar dua abad
hijriyah yang kedua dan ketiga,negara islam meluas dan banyak dari orang
nonarab yang memeluk agama islam. Kaum
muslim dihadapkan pada kejadian baru ,berbagai kesulitan,bermacam-macam kajian, aneka ragam teori dan
gerakan pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa para mujtahid untuk
memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukun islam terhadap banyak kasus dan
membuka pintu pengkajian dan analisis kepada mereka sehingga semakin luas pula
lapangan pembentukan hukum fiqh dan ditetapkan pula sejumlah hukum untuk
kasus-kasus yang fiktif.
B. PENGERTIAN DAN GAMBARAN FIQH SECARA UMUM.
Berbicara
sistematika berarti kita membicarakan susunan, Urut-urutan teratur, dan
berurutan tentang sesuatu (Burhani, Hasbi Lawrens: 2003), karena kita
membahas kitab fiqh maka kita akan membahas tentang susunan atau urutan
pembahasan suatu masalah di dalam kitab fiqh.
Namun
sebelum kita membahas tentang urutan atau sistematika kitab fiqh, penulis ingin
mengigatkan kembali hukum-hukum yang terkandung di dalam fiqh secara umum.
Kita
semua tahu bahwa hukum-hukum fiqh mengandung dan masuk kedalam semua aspek
kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Maka secara garis besar, masalah-masalah
fiqh dapat dikelompokkan kedalam dua bahagian besar (ash-shiddiqi: 2001) yaitu:
1.
Ibadah
Yaitu: segala persoalan
yang menyangkut dengan urusan akhirat seperti: shalat, puasa dan zakat. Atau
dengan kata lain para fuqaha menyebutkan dengan ibadah mahzhah, yaitu ibadah
yang berhubungan dengan ALLAH secara lansung.
2.
Mu’amalat
Adalah segala persoalan
atau permasalahan yanag berpautan atau berhubungan dengan urusan-urusan dunia
atau undang-undang. Atau lebih dikenal dengan ibadah ghairu mahzhah yaitu
ibadah yang berhubungan dengan manusia dengan manusia yang perlu adanya campur
tangan pemerintah dalam pelaksanaannya.
Pada bagian ini dapat
dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1.
Bagian ‘ukubat
Yaitu: pembahasan yang
meliputi tentang perbuatan-perbuaran pidana seperti membunuh, mencuri dan minum
minuman yang memabukkan atau khamr.
2.
Bagian munakahat (ahwal
syakhshiah)Yaitu: bagian yang membahas antara lain masalah perkawinan dan
perceraian.
3.
Bagian mu’amalat
Yaitu: pada bagian ini
membahas tentang harta seperti sewa menyewa, jual beli dan pinjam meminjam.
Demikian
juga dengan wahbah al-zuhaili yang membagi pembahasan fiqh kedalam dua bidang
secara umum. (wahbah zuhaili: 1984). Namun demikian ada juga ulama al Allamah
Ibnu Abidin dalam kitabnya Raddl Muhtar yang membagi pembagian dalam
fiqh itu kedalam 3 (tiga) pembahagian besar, yaitu:
1.
Ibadah. Meliput:
shalat, zakat, shiyam, haji dan jihad.
2.
Uqubat. Meliputi:
qishas, had pencurian, had zina dan di hubungkan dengan ta’zir.
3.
Mu’amalat. Meliputi:
munakahat dan amanat
Perlu
kita ingat kembali yang menyusun kitab fiqh adalah ahli ijtihad seperti Imam
Abu Hanifah, Malik, Imam Syafi’i, Ahmad Bin Hambal dan lain-lain. Orang yang
mula-mula mengatur dan menyusun kitabnya menurut sebagian ahli riwayat
adalah Abu Hanifah An Nu’man Ibn Tsabit. (ash-shiddiqi: 2001) dan ini
terjadi pada masa-masa awal dari Dinasti Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258),
setelah kaum Muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan di seluruh wilayah
Islam.
Pada
waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin
baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya
untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka
muncullah berbagai kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan
ini, yang terdiri dari tiga bentuk, yaknipenyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu
Islam, dan (3) penerjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa
Arab. Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja,
tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisahkan dengan
ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu agama Islam,
ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan sebagainya.
Pada
periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri
dari: fiqih ‘ibâdât (fiqih
tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munâkahât (fiqih tentang
perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah),
fiqih mu’âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan
fiqih jinâyât (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya).
Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Berkembangnya
ilmu-ilmu fiqh, maka secara tidak lansung berkembang pula sistematika
punyusunan suatu pembahasan didalam kitab-kitab fiqh. Ini yang menyebabkan
berbedanya susunan atau sistematika fiqh setiap ulama yaitu karena perbedaan
waktu dan tempat.
C. PENGERTIAN USHUL FIQH.
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut
pandang. Pertama, dari
pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua. Dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu
tersendiri. Dari sisi tarkib idhafi dan dari sisi laqab. Ushul fiqh sebagai
tarkib idhafi, terdiri dari kata ushul dan fiqh yang secara terpisah
antara kedua kata ini mempunyai makna sendiri. kata ushul merupakan jamak dari
ashl yang berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. atas dasar ini
ushul fiqh di pandang sebagai sandaran bagi fiqh dan sebagai alat utuk
melahirkan fiqh.Kata al aslu menurut bahasa memiliki
arti: asal, pangkal, dasar, pokok atau asas. Dapat juga di artikan
sebagai fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non materi
Adapun menurut istilah
ashl memiliki beberapa adalah arti berikut ini:
1.
Dalil, yakni landasan
hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibanya
shalat lima waktu firman allah dan sunnah rasul.
2.
Qa’idah, yaitu suatu
dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad saw:”Buniyal islam ’ala
khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul (fondasi atau
dasar)”.
3.
Rajih, yaitu yang
terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih: ”Al-Ashlu fil kalaam
al-haqiqah”. Artinya: ”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti
hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
4.
Mustashhab, yakni
memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang
mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya
seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih
hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya
seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5.
Far’u, seperti
perkataan ulama ushul: ”Al-waladu far’un lilabi” artinya: ”Anak adalah cabang
dari ayah” Al-Ghazali,1:5
Dari
yang kelima pengertian ashl diatas, yang biasa dipakai digunakan adalah makna
yang pertama ”Dalil”, yakni dalil-dalil fiqh.
Kata fiqh menurut
bahasa pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu, dalam pengertian
ini kata fiqh dan fahm adalah sinonim. kata fiqh pada mulanya di gunakan
orang-orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta. dimasa
Rasulullah pengertian fiqh menckup semua aspek dalam islam, baik teologis, politis, ekonomis maupun hukum. Pengertian fiqh secara bertahap berubah dari masa ke
masa , dan akhirnya terbatas pada masalah hukum.
Menurut
istilah fiqh adalah:
“الفقه:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
ilmu yang menerangkan
segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang di
instinbathkan dari dalil-dalil yang jelas ( tafsili ). Gabungan dari
kata ushul dan fiqh tersebut. oleh para pakar dijadikan nama bagi suatu
disiplin ilmu, yang dikenal dengan sebutan ilmu ushul fiqh.
Secara
definitif, yang disebut ilmu ushul fiqh dalam istilah syara ialah: ilmu
pengetahuan dari hal qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa
kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari
dalil-dalil yang terperinci.
Imam
al-ghazali, seorang ulama syafiiyah, mendefinisikan ushul fiqh adalah
penjelasan tentang dalil-dalil fiqh dan pengetahuan tentang tata cara
penunjukannya kepada hukum secara global dan bukan secara terperinci. Imam
baidhawi juga ahli ushul kalangan syafiiyah, mendenisikannya sebagai
pengetahuan tentang dalil fiqh secara umum dan menyeluruh, cara
mengistinbathkan atau menarik hukum dari dalil itu, dan tentang hal ikhwal
pelaku istinbath. tujuh Definisi ini sedikit lebih luas dari rumusan
alghazali.
Menurut Dr, Wahbah Zuhaili, ulama hanafiah, malikiah, dan hanabilah
mendefinisikan ushul fiqh sebagai kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengambil
hukum dari dalil-dalil yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah itu
sendiri. Baqir Sadr dari kalangan syiah, mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu
yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur mendeduksikan hukum-hukum islam.
Sedangkan menurut ushul
fiqh ialah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman
dalam menetapkan hukum syariat islam mengenai perbuatan manusia, dimana kaidah
itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas. Dengan kata lain,
ushul fiqh merupakan himpunan berbagai kaidah dan penjaabrannya yang menjadi
pedoman dalam rangka penetapan hukum mengenai perbuatan mukallaf dimana
keseluruhan kaidah tersebut bersumber dari nash. Keragaman definisi yang
dirumuskan oleh para ahli seperti tesebut di atas,pada akhirnya bertemu pada
satu inti ushul fiqh. Yaitu metode atau kaidah yang dipakai oleh para
mujtahid untuk mengistinbathkan hukum dari nash Al-Qur’an dan sunnah.
Dengan membandingkan
uraian di atas dan uraian sebelumnya tentang fiqh terlihat bahwa antara fiqh
dan ushul fiqh mempunyai hubungan yang erat. ushul fiqh membicarakan tentang
kaidah-kaidah umum, sedangkan penerapan kaidah-kaidah tersebut
kepada ayat-ayat alquran dan hadis-hadis nabi merupakan obyek kajian fiqh
sehingga melahirkan fiqh itu sendiri.
Kata fiqh secara
bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran
{قالوا يا شعيب ما
نفقه كثيرا مما تقول}, yang artinya “kaum
berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.
D. OBYEK KAJIAN USHUL FIQH.
Setiap cabang
pengetahuan biasanya mempunyai pokok bahasan dasar yang menjadi pusat seluruh
kajiannya. Pembahasannya pun berkisar disekitar itu pula, dengan tujuan
menemukan karakteristik-karakteristik, kondisI-kondisi serta hukum-hukum yang
berkaitan dengan pokok bahasan tersebut, contohnya. Pokok bahasan ilmu
fisika adalah alam maka seluruh diskusi dan riset dalam ilmu fisika senantiasa
berkaitan dengan alam sehingga kita berusaha menemukan kondisi-kondisi dan
hukum-hukum alam. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang lain seperti
fiqh. Obyek pembahasan fiqh adalah perbuatan orang mukallaf dari segi penetapan
hukum syariat padanya. Dari sana kitamengetahui mana dalam pandangan hukum
islam erbuatan yang diwajibkan,disunnahkan,diharamkan dan sebagainya. Jadi
dalam ilmu fiqh dibahas tentang thaharah, shalat, zakat, puasa, jual
beli, wakaf, pembunuhan dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan ilmu
ushul fiqh ia memliki obyek bahasan tersendiri.
Menurut
Imam Alghazali ,Obyek kajian ilmu ushul fiqh berkisar pada 4 hal :
1. Tsamarah,
yaitu hukum-hukum syar’i seperti wudhuk, nadab, karhah dan lain
sebagainya
2. Musmar,
yaitu dalil-dalil (adillah) meliputi kitab,sunnah,dan ijma’
3. Thuruq
al istimar (metode istinbath)
4. Mustasmir
yaitu mujtahid14
Adapun yang menjadi
ruang lingkup pembahasan ilmu ushul fiqh ialah dalil-dalil syara’ itu sendiri
dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali ( menurut
garis besarnya). Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi
tuntutan berbuat meninggalkan dan pilihan berbuat atau meninggalkanseta hal-hal
yang berkaitan dengan syarat, sebab, mani’, ru’sah, dan lain sebagainya.
Adakalanya dengan
bentuk kalimat perintah (tsighat amar),terkadang penunjukannya Sberbentk
kalimat larangan (tsigat nahi),dan adakalanya melakukan kalimat yang bersifat
am, khash, mutlak, muqayyad, hakiki, majazi dan lain sebagainya. adalah dalil
syara’pertama yang penunjukannya kepada hukum tidak hanya menurut satu bentuk
saja.
Bahkan secara khusus
persoalan ijtihad, syarat dan kriteria orang yang dapat melakukan ijtihadpun
menjadi lapangan kajian ushul fiqh.
Terhadap segala bentuk
kalimat yang terdapat di dalam alquran tersebut, para ahli ushul,dengan bantuan
penelitian terhadap gaya dan tata bahasa arab dan pemakaiannya dalam syariat
melakukan kajian dan pembahasan yang komprehensif agar memperoleh ketentuan
hukum yang ditunjuknya.hasil penelitian para ahl ushul misalnya ditemukan bahwa
tsighat(bentuk) amr itu mengandung perintah, tsighat nahyi itu mengandung
petunjuk haram dikerjakan dan kalimat yang bersifat umum itu harus mencakup
pengertian keseluruhan. Berdasarkan penelitian tersebut merka lalu menyusun
kaidah-kaidah seperti berikut : al amru lil ijab (perintah itu untuk
mewajibkan), an nahyu lit tahrim (larangan itu untuk
mengahramkan). Kaidah-kaidah di atas pada giliranya menjadi acuan dalam
menkonfirmasikan penunjukan hukum terhadap suatu masalah yang terdapat di dalam
alquran.
Ilmu ushul fiqh tentu
saja berbeda dengan ilmu fiqh karena fiqh membicaraan tentang dalil dan hukum
yang bersifat rinci atau juz’i sedangkan ushul fiqh memfokuskan pembicaraanya
tentang dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar atau kulli yang berfugsi
sebagai metodelogi dalam memahami dalil-dli yang terperinci tersebut,seperi
telah dijelaskan sebelumnya.demikian pula,kalau tujuan mempelajiri fiqh adalah
mempraktekkan hukum-hukum syriat pada segala amal perbuatan manusia,maka tujuan
mempelajari ilmu ushul fiqh adalah mempraktekkan kaidha-kaidah dan
teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci guna mendapatkan hukm-hukum syariat
yang terkandung dalam dalil-dalil itu. Jadi dengan kaidah dan pembahasan ilmu
ushul fiqh dapat dipahami nash-nash syariyyah dan hukum-hukum yang dikandungnya.
Namun demikian, ushul
fiqh tidak hanya diperlukan dalam memahami teks-teks yang terdapat dalam alqur
an maupun hadits semata, tetapi ia juga di butuhkan untuk menetapkan hukum
terhadap hal-hal atau peristiwa – peristiwa yang tidak terdapat ketentuan
hukumnya didalam kedua nash tersebut. Apalagi dizaman sekarang banyak
sekali tejadi peristiwa-peristiwa hukum baru yang tidak disebut oleh nash baik
secara eksplisit maupun implisit.18
E. PERBEDAAN USHUL FIQH DENGAN FIQH DAN QAWA ID
KULLIAH.
Pembahasan ilmu fiqh
berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah
seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib, sunnah,
makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh
berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan
hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan
konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil
yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh
dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan
menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan
tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga
seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
a. Pengertian
kaidah fiqhiyyah
Materi fiqh banyak
sekali, dan materi-materi yang banyak itu ada hal-hal yang serupa, kemudian
diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi kaidah fiqh. Oleh karena itu Abu Zahrah menta’rif kan kaedan fiqh
dengan,“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu qiyas yang
mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya”19
b. Perbedaan
Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
a) Kaidah
ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang
sama.
b) Kaidah-kaidah
ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah
furu’.
c) Kaidah-kaidah
ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil
yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
F. ISI DAN SISTEMATIKA USHUL FIQH.
Setiap disiplin ilmu
pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain,
demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas
menjadi 5 (lima) bagian utama:
1. Kajian
tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an
dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
2. Hukum-hukum
syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah
kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia
layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
3. Kajian
bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks,
makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah
saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar
jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain. ( kaidah –kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syarai dari dalil atau sumber yang
mengandungnya).
4. Metode
yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling
bertentangan, dan bagaimana solusinya.
5. Ijtihad,
syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
G. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH.
Dalam sejarah penulisan
buku-buku ushul dikenal ada tiga buah metode dan gaya penulisan para ulama,
yaitu:
Metode
ahli ilmu kalam (Syafi’iyyah), Metode ahli fiqh (Hanafiyyah), Metode gabungan.
1. Metode
Syafi’iyyah
Kitab Ar-Risalah karya
Imam Syafi’i adalah kitab pertama yang menggunakan metode ini dalam penulisannya.
Di antara ciri-ciri metode ini adalah:
Pertama: Metode ini
memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menghasilkan kaidah-kaidah
ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin tidak mendukung mazhab fiqh
penulisnya.
Kedua: Dalam mengkaji
dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan kajian bahasa Arab
yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh
kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya.
Ketiga: Metode ini
benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan fanatisme mazhab,
jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai contoh penerapan saja. Metode ini
juga menggunakan gaya perdebatan ilmiah dengan ungkapan:
فإن
قلتم… قلنا “Jika
Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para
penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini adalah mereka yang berasal dari
mazhab yang berbeda: Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Mu’tazilah,
Asy’ariyyah, dan lain-lain.
a) Kitab-kitab
yang menggunakan Metode Syafi’iyyah
1. Ar-Risalah
karya Imam Syafi’i (150-204 H).
2. At-Taqhrib
karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).
3. Al-Mu’tamad
karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-syafi’i (wafat
th 436 H).
4. Al-Burhan
karya Abul-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini
Asy-Syafi’i/Imamul-haramain (410-478 H).
5. Al-Mustashfa
karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H).
2. Metode
Hanafiyah
Metode ini memiliki
karakter sebagai berikut: Pertama:
Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh dimana ia
dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila
ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama
mazhab Hanafi, mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai. Kedua: Tujuan utama dari metode ini
adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi
dalam kaidah-kaidah ushul. Ketiga:
Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis. Metode ini
muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah ushul yang
terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti yang ditinggalkan Imam
Syafi’i untuk murid-muridnya. Dalam buku para imam mazhab Hanafi, mereka hanya
menemukan masalah-masalah Fiqh dan beberapa kaidah yang tersebar di sela-sela
pembahasan Fiqh tersebut. Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah Fiqh
yang sejenis dan mengkajinya untuk ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.
b) Kitab
yang ditulis dengan metode Hanafiyah
1. Al-Ushul
karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).
2. Al-Ushul
karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).
3. Al-Ushul
karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-Hanafi (wafat th
490 H).
4. Kanz
Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi
Al-Hanafi (wafat th. 482 H).
5. Ta’sis
An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi
(wafat th 430 H).
3. Metode
Gabungan
Metode ini muncul
pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui seorang alim Irak
bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus
Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul
Al-Bazdawi Wal-Ihkam.
Di
antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara
kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan
argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus
fiqh.
·
Fiqh Siyâsah
Kata
“fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “الفقه السياسي”
berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه)
dan yang kedua adalah al-siyâsî (السياسي).
Secara istilah, menurut
ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم
بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum
syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara
terperinci”.
Sedangkan al-siyâsî pula,
secara bahasa berasal dari “ساس – يسوس – سياسة”
yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: “كان
بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء والولاة بالرعية”,
yang berarti: “Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi
mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada
rakyatnya”. Bisa juga seperti kata-kata “ساس
زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره”
yang artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi
perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyâsah itu
secara bahasa bermakna: “القيام على الشيء بما
يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut
untuknya”.
Apabila digabungkan
kedua
kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang
juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah secara istilah memiliki
berbagai arti:
1. Menurut
Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan
cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap
pemerintahan”.
2. Menurut Wuzârat
al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus kehidupan
manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan
mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permsalahan mereka”.
3. Menurut
Imam Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada
jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di
akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara
umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah berasal
dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara
batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari
pemegang kekuasaan”.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di
dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik,
yaitu: 1. Pihak yang mengatur;
2. Pihak yang diatur.
Melihat kedua unsur
tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip
dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa: Dua
unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat
eksklusif dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika
dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan
politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli,
bahwafiqh siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi
pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi
pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya
menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Ini juga dibuktikan dengan
definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia: “Political Science: The
academic discipline which describes and analyses the operations of government,
the state, and other political organizations, and any other factors which
influence their behaviour, such as economics. A major concern is to establish
how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within society.” Ternyata,
memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali
tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.
Perbedaan tersebut
tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di dalam hukum Islam
haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syariat Islam,
atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî.
Dengan demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1.
Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di dalam Alquran maupun hadis Nabi
Muhammad SAW; 2. Maqâshid al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah
usul fiqh serta cabang-cabangnya.
Oleh karena itu,
politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal
dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya
saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip
Islam, maka ia tetap dapat diterima.
H.
RUANG LINGKUP FIQH SIYÂSAH.
Terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup
kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang
membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah
terlalu prinsipil.
Menurut Imam
al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karanganfiqh siyâsah-nya
yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang
lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
Siyâsah Dustûriyyah;
1. Siyâsah
Mâliyyah;
2. Siyâsah
Qadlâ`iyyah;
3. Siyâsah
Harbiyyah;
4. Siyâsah
`Idâriyyah;
Sedangakan menurut Imam
Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar’iyyah,
ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
1. Siyâsah
Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah
`Idâriyyah;
3. Siyâsah
Mâliyyah;
4. Siyâsah
Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah;
Sementara Abd al-Wahhâb
Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:
1. Siyâsah
Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah
Dauliyyah;
3. Siyâsah
Mâliyyah;
Salah satu dari ulama
terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi
delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:
1. Siyâsah
Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan
perundang-undangan);
2. Siyâsah
Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3. Siyâsah
Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4. Siyâsah
Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5. Siyâsah
`Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6. Siyâsah
Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar
negeri atau internasional);
7. Siyâsah
Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8. Siyâsah
Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian
tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian pokok. Pertama (1):
politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi
pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif,
peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan
(`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.
Kedua :
politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian ini
mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan
muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah
peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar
diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.
Ketiga :
politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain membahas
sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara,
perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.
1. Kedudukan Fiqh Siyâsah di
dalam Sistematika Hukum Islam
Pra pembahasan
kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam, perlulah untuk diketahui
dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum
Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh siyâsah di dalam
sistematika hukum Islam.
Menurut Dr. Wahbah
al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan
hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu
diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan
manusia dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3.
Hubungan manusia dengan masyarakat sosialnya.
Ini dikarenakan hukum
Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga
berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa
sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk Islam, semuanya berkaitan
dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang
wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada
Allah; juga untuk menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman,
bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.
Agar dapat memenuhi
peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga
disebut fiqh yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang
keluar dari seorang mukalaf, dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua
perkara pokok:
1. Fiqh
‘Ibâdah (Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala persoalan yang
berpautan dengan urusan akhirat. Bagian dari Fiqh ‘Ibâdah adalah
bersuci, solat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan sebagainya dari
perkara-perkara yang bertujuan mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini melebihi 140 ayat.
2. Fiqh
Mu’âmalât (Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur hubungan antara
sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.24Bagian dari ini
adalah segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan lain-lain yang
berhubungan antara manusia dengan manusia yang lain, sama ada secara privat
maupun publik.
a. Hukum
yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan,
dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan keluarganya secara privat.
Dari
pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum muamalah kepada
beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh
mu’âmalât ini sangat luas. Pembagian tersebut adalah:
b. Hukum
kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan,
dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan hak kebendaan seseorang.
c. Hukum
jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang
bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.
d. Hukum
acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses peradilan dalam
meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan
menegakkan keadilan di kalangan manusia.
e. Hukum dustûriyyah:
segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum dan dasar-dasarnya. Dalam
hukum ini, fiqh membahas bagaimana membatasi sebuah hukum dengan
subyek hukum.
f. Hukum
pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara pemerintahan
Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian, peperangan,international
affairs, dan lain-lain yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam
pemerintahannya.
g. Hukum
perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak warganegara dan
pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak negara, harta rampasan
perang, mata uang, pengaturan dana sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain
yang berkaitan dengan kebendaan antara warganegara dan pemerintah.
h. Akhlak
dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata
pergaulan yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan,
sehingga nilai-nilai moral sangat diutamakan.
Secara
kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu’âmalât. Ini
apabila fiqh mu’âmalât diartikan dengan arti luas.
Akan
tetapi, apabila fiqh mu’âmalât diartikan secara sempit;
maka fiqh siyâsahbukanlah fiqh mu’âmalât. Ini dikarenakan fiqh
mu’âmalât adalah fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan
kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik, walaupun kemungkinan ada campur tangan
pemerintah. Hanya saja pencampuran tersebut bukanlah secara esensial. Ini
seperti apa yang diartikan secara sempit, menurut Khudlarî Beik: “Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia
saling menukar manfaat.”
Maka
dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh
siyâsah seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah
dimasukkan fiqh siyâsah di dalam fiqh mu’âmalât secara arti
luas, bukan sempit.
Dari
sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam.
Ini dikarenakan, fiqh siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur
pemerintah dalam menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa
keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang menjalankan
konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum Islam
itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.Imam al-Ghazâlî juga secara tegas
menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî
al-`I’tiqâd.
Buktinya,
tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak mungkin
akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk
rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil
melahirkan undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang
mengatur bahwa semua penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk mematuhi
peraturan pernikahan tersebut yang terbentuk dari dasar-dasar Islami. Tanpa
ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat diaplikasikan secara
positif di Indonesia.
Contoh
lain sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam pemerintahan,
adalah adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk
rakyat umum, serta berusaha menolak segala jenis kerusakan.27 Ini juga
didasari oleh salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu kaidah fiqhiyyah.
Kaidah yang terkenal adalah “دفع
المفاسد وجلب المصالح”. Selanjutnya, batasan kemaslahatan
tentunya dibatasi dengan kaidah “المصلحة
العامة مقدمة على المصلحة الخاصة”, yang dapat membatasi pemerintah
daripada hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau bagaimanapun, kebijakan
pemerintah yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus ditaati. Maka dari
itu terdapat kaedah “تصرف الإمام على الرعية
منوط بالمصلحة”.
Secara aplikasinya, kalau pengadilan tidak dapat menemukan wali bagi orang yang
dibunuh (والي القاتل), maka pemerintah (jaksa) dapat menjadi wakil bagi mangsa
sebagai penuntut. Malah bagi jaksa boleh menuntut untuk diqishâsh kalau
perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih maslahat. Akan
tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari
pemberlakuan qishâsh seperti yang dimiliki wali yang asli.
Dengan
demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan
penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan,
merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna
bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya,
pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik
pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang
mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari
hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan
sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun,
sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan
agama islam,karena islam merupakan himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum
amaliyyah.Hukum amaliyyah ini pada masa Rasullulah saw,terbentuk dari hukum-hukum
yang terdapat didalam al-qur’an ,dari berbagai hukum yang keluar dari
Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus atau suatu putusan
terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu pertanyaan
.Kompilasi hukum-hukum fiqh pada periode yang pertama terbentuk dari
hukum-hukum Allah dan Rasulullah,dan sumbernya adalah al-qur’an dan as-sunnah
Sistematika
membahas kitab fiqh merupakan aturan atau urutan dalam membahas suatu
permasalahan di dalam kitab-kitab fiqh. Ataupun dengan kata lain runut dalam
menulis suatu permasalahan di dalam kitab fiqh. Setiap kitab fiqh mempunyai
ciri yang berbeda termasuk di dalam menulis sistematikanya. Misalnya urutan
atau sistematika yang ditulis oleh Al-Hilli dengan yang ditulis oleh Ibnu Rusyd, terdapat
perbedaan baik dari pengolongan masalah fiqh atau bagian dan kitab mana yang
dibahas terlebih dahulu ataupun perbedaan tata letak dalam penulisan. Seperti
pembagian pembahasan fiqh yang pilah oleh As-Shiddiqi yaitu ibadah dan muamalahh. Ini berpengaruh
juga dalam bentuk atau sistematika penulisan kitab.
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta. Data dan fakta
ini dicari latar belakangnya serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga
ditemukan benang merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam pada umumnya dan
semangat ilmu fiqih pada khususnya yang berlaku sepanjang masa. Penerapan
semangat ajaran ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
yang dihadapinya dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqih yaitu ushul
fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.
Mengenai orang
yang pertama menulis secara sistematik kitab fiqh, sebahagian ahli riwayah atau
sejarah sepakat orang yang pertama melakukannya adalah Imam Abu Hanifah pada masa abasiyah
Daftar Pustaka
Ash shiddiqy, Teungkue Muhammad. 2001. Pengantar Hukum Fiqh Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Ahsin.1993. Pengantar
Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-fiqh
al-islami wa adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr.
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaidah
Fiqih, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta:
Kencana Prenada Group.
Ms, Burhani dan Hasbi Lawrens. 2003. Kamus ilmiah populer. Jombang: Lintas Media
Post a Comment