Selamat datang Iskandar Menulis.Com

Featured post

Membangun Hubungan Interpersonal Antara Pustakawan Dan Pemustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Konsep perpustakaan sebagai sebuah kesatuan organisasi yang terstuktur dalam tujuanya m...

MAKALAH FIQG DAN USHUL FIQH

Tuesday, 6 January 20150 comments










BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Dalam setiap penulisan suatu karya tulis terdapat susunan atau sistematika yang membuat tulisan terlihat menarik dan mudah dipahami oleh setiap orang yang membaca tulisan tersebut. Namun jika tulisan tersebut tidak tersusun secara sistematik maka yang terjadi adalah sebaliknya yaitu: orang akan susah dalam memahami suatu karya tulis.
Namun, apakah sistematika ini juga berlaku dalam penulisan kitab-kitab fiqh dan buku-buku islam lainnya?  Dan apakah ada perbedaan pembahasan masalah pada masa dulu tepatnya masa tabi’in dengan masa setelahnya? Siapa orang pertama yang menyusun fiqh secara sistematis?
Ada pergulatan sejarah yang panjang dalam mengungkapkan atau menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, para ahli telah menjawab pertanyaan tersebut dengan berbagai penelitiannya. Disini pemakalah hanya ingin menyampaikan apa yang telah diteliti oleh para ahli.
B.   Rumusan Masalah
A.    Apa Pengertian ilmu fiqh?
B.     Bagaimana Pengertian dan gambaran fiqh?
C.     Apa Pengertian Ushul Fiqh?
D.    Apa Obyek Kajian Ushul Fiqh?
E.     Apa Perbedaan Ushul Fiqh dan Qawa id Kuliah?
F.      Apa Isi dan Sistemtik Ushul Fiqh?
G.    Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh?
H.    Jelaskan Ruang Lingkup Fiqh Siyasah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN ILMU FIQH

Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama islam,karena islam merupakan himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum amaliyyah.Hukum amaliyyah ini pada masa Rasullulah saw,terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-qur’an ,dari berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu pertanyaan .Kompilasi hukum-hukum fiqh pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah,dan sumbernya adalah al-qur’an dan as-sunnah.
Pada masa sahabat mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya berbagai hal baru yang hal itu tidak pernah dihadapi kaum muslim sebelumnya dan tidak pernah muncul pada masa Rasulullah saw.maka berijtihadlah orang yang ahli ijtidah diantara mereka,mereka memberikan putusan hukum,berfatwa,menetapkan hukum syariat dan menambahkan sejumlah hukum yang mereka persembahkan melalui ijtihad mereka kepada kompilasi hukum yang pertama itu.
Maka pada periode kedua kompilasi hukum fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulnya ,serta fatwa sahabat dan putusan mereka.Sedangkan sumbernya al-qur’an,as-sunnah,dan ijtihad para sahabat.
Pada kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkondifikasikan dan belum da penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif. akan tetapi penetapan hukum islam adalah berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan kasus-kasus yang terjadi saja.Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk ilmiah, akan tetapi hanya sekedar suatu penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Kompilasi hukum ini belum pula dinamakan sebagai ilmu fiqh dan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat belum disebut sebagai fuqaha.
Pada masa Tabi’in dan Tabi’it serta para imam mujtahid yaitu sekitar dua abad hijriyah yang kedua dan ketiga,negara islam meluas dan banyak dari orang nonarab yang memeluk agama islam. Kaum muslim dihadapkan pada kejadian baru ,berbagai kesulitan,bermacam-macam kajian, aneka ragam teori dan gerakan pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa para mujtahid untuk memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukun islam terhadap banyak kasus dan membuka pintu pengkajian dan analisis kepada mereka sehingga semakin luas pula lapangan pembentukan hukum fiqh dan ditetapkan pula sejumlah hukum untuk kasus-kasus yang fiktif.

B.   PENGERTIAN DAN GAMBARAN FIQH SECARA UMUM.

Berbicara sistematika berarti kita membicarakan susunan, Urut-urutan teratur, dan berurutan  tentang sesuatu (Burhani, Hasbi Lawrens: 2003), karena kita membahas kitab fiqh maka kita akan membahas tentang susunan atau urutan pembahasan suatu masalah di dalam kitab fiqh.
Namun sebelum kita membahas tentang urutan atau sistematika kitab fiqh, penulis ingin mengigatkan kembali hukum-hukum yang terkandung di dalam fiqh secara umum.
Kita semua tahu bahwa hukum-hukum fiqh mengandung dan masuk kedalam semua aspek kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Maka secara garis besar, masalah-masalah fiqh dapat dikelompokkan kedalam dua bahagian besar (ash-shiddiqi: 2001) yaitu:
1.      Ibadah
Yaitu: segala persoalan yang menyangkut dengan urusan akhirat seperti: shalat, puasa dan zakat. Atau dengan kata lain para fuqaha menyebutkan dengan ibadah mahzhah, yaitu ibadah yang berhubungan dengan ALLAH secara lansung.


2.      Mu’amalat
Adalah segala persoalan atau permasalahan yanag berpautan atau berhubungan dengan urusan-urusan dunia atau undang-undang. Atau lebih dikenal dengan ibadah ghairu mahzhah yaitu ibadah yang berhubungan dengan manusia dengan manusia yang perlu adanya campur tangan pemerintah dalam pelaksanaannya.
Pada bagian ini dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1.      Bagian ‘ukubat
Yaitu: pembahasan yang meliputi tentang perbuatan-perbuaran pidana seperti membunuh, mencuri dan minum minuman yang memabukkan atau khamr.
2.      Bagian munakahat (ahwal syakhshiah)Yaitu: bagian yang membahas antara lain masalah perkawinan dan perceraian.
3.      Bagian mu’amalat
Yaitu: pada bagian ini membahas tentang harta seperti sewa menyewa, jual beli dan pinjam meminjam.
Demikian juga dengan wahbah al-zuhaili yang membagi pembahasan fiqh kedalam dua bidang secara umum. (wahbah zuhaili: 1984). Namun demikian ada juga ulama al Allamah Ibnu Abidin dalam kitabnya Raddl Muhtar yang membagi pembagian dalam fiqh itu kedalam 3 (tiga) pembahagian besar, yaitu:
1.      Ibadah. Meliput: shalat, zakat, shiyam, haji dan jihad.
2.      Uqubat. Meliputi: qishas, had pencurian, had zina dan di hubungkan dengan ta’zir.
3.      Mu’amalat. Meliputi: munakahat dan amanat
Perlu kita ingat kembali yang menyusun kitab fiqh adalah ahli ijtihad seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Imam Syafi’i, Ahmad Bin Hambal dan lain-lain. Orang yang mula-mula mengatur dan menyusun kitabnya menurut sebagian ahli riwayat adalah Abu Hanifah An Nu’man Ibn Tsabit. (ash-shiddiqi: 2001) dan ini terjadi pada masa-masa awal dari Dinasti Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258), setelah kaum Muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam.
Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang  semakin baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga bentuk, yaknipenyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3) penerjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan sebagainya.
Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari:     fiqih ‘ibâdât (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji),     fiqih munâkahât (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqih mu’âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinâyât (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Berkembangnya ilmu-ilmu fiqh, maka secara tidak lansung berkembang pula sistematika punyusunan suatu pembahasan didalam kitab-kitab fiqh. Ini yang menyebabkan berbedanya susunan atau sistematika fiqh setiap ulama yaitu karena perbedaan waktu dan tempat.

C.  PENGERTIAN USHUL  FIQH.
            Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama, dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua. Dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri. Dari sisi tarkib idhafi dan dari sisi laqab. Ushul fiqh sebagai tarkib idhafi, terdiri dari kata ushul dan fiqh yang secara terpisah  antara kedua kata ini mempunyai makna sendiri. kata ushul merupakan jamak dari ashl yang berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. atas dasar ini ushul fiqh di pandang sebagai sandaran bagi fiqh dan sebagai alat utuk melahirkan fiqh.Kata al aslu menurut bahasa memiliki arti: asal, pangkal, dasar, pokok  atau asas. Dapat juga di artikan sebagai fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non materi

Adapun menurut istilah ashl memiliki beberapa adalah arti berikut ini:
1.      Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibanya shalat lima waktu firman allah dan sunnah rasul.
2.      Qa’idah, yaitu suatu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad saw:”Buniyal islam ’ala khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul (fondasi atau dasar)”.
3.      Rajih, yaitu yang terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih: ”Al-Ashlu fil kalaam al-haqiqah”. Artinya: ”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4.      Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5.      Far’u, seperti perkataan ulama ushul: ”Al-waladu far’un lilabi” artinya: ”Anak adalah cabang dari ayah” Al-Ghazali,1:5
Dari yang kelima pengertian ashl diatas, yang biasa dipakai digunakan adalah makna yang pertama ”Dalil”, yakni dalil-dalil fiqh.
Kata fiqh menurut bahasa pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu, dalam pengertian ini kata fiqh dan fahm adalah sinonim. kata fiqh pada mulanya di gunakan orang-orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta. dimasa Rasulullah pengertian fiqh menckup semua aspek dalam islam, baik teologis, politis, ekonomis maupun hukum. Pengertian fiqh secara bertahap berubah dari masa ke masa , dan akhirnya  terbatas pada masalah hukum.
Menurut istilah fiqh adalah:
الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang di instinbathkan dari dalil-dalil yang jelas ( tafsili ).  Gabungan dari kata ushul dan fiqh tersebut. oleh para pakar dijadikan nama bagi suatu disiplin ilmu, yang dikenal dengan sebutan ilmu ushul fiqh.
Secara definitif, yang disebut ilmu ushul fiqh dalam istilah syara ialah:  ilmu pengetahuan dari hal qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum  tentang amal perbuatan manusia  dari dalil-dalil yang terperinci.
Imam al-ghazali, seorang ulama syafiiyah, mendefinisikan ushul fiqh adalah penjelasan tentang dalil-dalil fiqh dan pengetahuan tentang tata cara penunjukannya kepada hukum secara global dan bukan secara terperinci. Imam baidhawi juga ahli ushul kalangan syafiiyah, mendenisikannya sebagai pengetahuan tentang dalil fiqh secara umum dan menyeluruh, cara mengistinbathkan atau menarik hukum dari dalil itu, dan tentang hal ikhwal pelaku istinbath. tujuh Definisi ini sedikit lebih luas dari rumusan alghazali.
            Menurut Dr, Wahbah Zuhaili, ulama hanafiah, malikiah, dan hanabilah mendefinisikan ushul fiqh sebagai kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengambil hukum dari dalil-dalil yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah itu sendiri. Baqir Sadr dari kalangan syiah, mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur mendeduksikan hukum-hukum islam.
Sedangkan menurut ushul fiqh ialah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat islam mengenai perbuatan manusia, dimana kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas. Dengan kata lain, ushul fiqh merupakan himpunan berbagai kaidah dan penjaabrannya yang menjadi pedoman dalam rangka penetapan hukum mengenai perbuatan mukallaf dimana keseluruhan kaidah tersebut bersumber dari nash. Keragaman definisi yang dirumuskan oleh para ahli seperti tesebut di atas,pada akhirnya bertemu pada satu inti ushul fiqh. Yaitu  metode atau kaidah yang dipakai oleh para mujtahid untuk mengistinbathkan hukum dari nash Al-Qur’an dan sunnah.
           
Dengan membandingkan uraian di atas dan uraian sebelumnya tentang fiqh terlihat bahwa antara fiqh dan ushul fiqh mempunyai hubungan yang erat. ushul fiqh membicarakan tentang kaidah-kaidah umum, sedangkan penerapan kaidah-kaidah tersebut kepada ayat-ayat alquran dan hadis-hadis nabi merupakan obyek kajian fiqh sehingga melahirkan fiqh itu sendiri.
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran
{قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}, yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.

D.   OBYEK KAJIAN USHUL FIQH.
Setiap cabang pengetahuan biasanya mempunyai pokok bahasan dasar yang menjadi pusat seluruh kajiannya. Pembahasannya pun berkisar disekitar itu pula, dengan tujuan menemukan karakteristik-karakteristik, kondisI-kondisi serta hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan tersebut, contohnya. Pokok  bahasan ilmu fisika adalah alam maka seluruh diskusi dan riset dalam ilmu fisika senantiasa berkaitan dengan alam sehingga kita berusaha menemukan kondisi-kondisi dan hukum-hukum alam. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan yang lain seperti fiqh. Obyek pembahasan fiqh adalah perbuatan orang mukallaf dari segi penetapan hukum syariat padanya. Dari sana kitamengetahui mana dalam pandangan hukum islam erbuatan yang diwajibkan,disunnahkan,diharamkan dan sebagainya. Jadi  dalam ilmu fiqh dibahas tentang thaharah, shalat, zakat, puasa, jual beli, wakaf, pembunuhan dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan ilmu ushul fiqh  ia memliki obyek bahasan tersendiri.           
 Menurut Imam Alghazali ,Obyek kajian ilmu ushul fiqh berkisar pada 4 hal :
1.      Tsamarah, yaitu hukum-hukum syar’i seperti wudhuk, nadab,  karhah dan lain sebagainya
2.      Musmar, yaitu dalil-dalil (adillah) meliputi kitab,sunnah,dan ijma’
3.      Thuruq al istimar (metode istinbath)
4.      Mustasmir yaitu mujtahid14
Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan ilmu ushul fiqh ialah dalil-dalil syara’ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali ( menurut garis besarnya). Ushul  fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi tuntutan berbuat meninggalkan dan pilihan berbuat atau meninggalkanseta hal-hal yang berkaitan dengan syarat, sebab, mani’, ru’sah, dan lain sebagainya.
Adakalanya dengan bentuk kalimat perintah (tsighat amar),terkadang penunjukannya Sberbentk kalimat larangan (tsigat nahi),dan adakalanya melakukan kalimat yang bersifat am, khash, mutlak, muqayyad, hakiki, majazi dan lain sebagainya. adalah dalil syara’pertama yang penunjukannya kepada hukum tidak hanya menurut satu bentuk saja.
Bahkan secara khusus persoalan ijtihad, syarat dan kriteria orang yang dapat melakukan ijtihadpun menjadi lapangan kajian ushul fiqh.
Terhadap segala bentuk kalimat yang terdapat di dalam alquran tersebut, para ahli ushul,dengan bantuan penelitian terhadap gaya dan tata bahasa arab dan pemakaiannya dalam syariat melakukan kajian dan pembahasan yang komprehensif agar memperoleh ketentuan hukum yang ditunjuknya.hasil penelitian para ahl ushul misalnya ditemukan bahwa tsighat(bentuk) amr itu mengandung perintah, tsighat nahyi itu mengandung petunjuk haram dikerjakan dan kalimat yang bersifat umum itu harus mencakup pengertian keseluruhan. Berdasarkan penelitian tersebut merka lalu menyusun kaidah-kaidah seperti berikut : al amru      lil ijab (perintah itu untuk mewajibkan), an nahyu lit tahrim (larangan itu untuk mengahramkan). Kaidah-kaidah di atas pada giliranya menjadi acuan dalam menkonfirmasikan penunjukan hukum terhadap suatu masalah yang terdapat di dalam alquran.
Ilmu ushul fiqh tentu saja berbeda dengan ilmu fiqh karena fiqh membicaraan tentang dalil dan hukum yang bersifat rinci atau juz’i sedangkan ushul fiqh memfokuskan pembicaraanya tentang dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar atau kulli yang berfugsi sebagai metodelogi dalam memahami dalil-dli yang terperinci tersebut,seperi telah dijelaskan sebelumnya.demikian pula,kalau tujuan mempelajiri fiqh adalah mempraktekkan hukum-hukum syriat pada segala amal perbuatan manusia,maka tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah mempraktekkan kaidha-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci guna mendapatkan hukm-hukum syariat yang terkandung dalam dalil-dalil itu. Jadi dengan kaidah dan pembahasan ilmu ushul fiqh dapat dipahami nash-nash syariyyah dan hukum-hukum yang dikandungnya.
Namun demikian, ushul fiqh tidak hanya diperlukan dalam memahami teks-teks yang terdapat dalam alqur an maupun hadits semata, tetapi ia juga di butuhkan untuk menetapkan hukum terhadap hal-hal atau peristiwa – peristiwa yang tidak terdapat ketentuan hukumnya didalam kedua nash tersebut. Apalagi  dizaman sekarang banyak sekali tejadi peristiwa-peristiwa hukum baru yang tidak disebut oleh nash baik secara eksplisit maupun implisit.18

E.  PERBEDAAN USHUL FIQH DENGAN FIQH DAN QAWA ID KULLIAH.
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
a.   Pengertian kaidah fiqhiyyah
Materi fiqh banyak sekali, dan materi-materi yang banyak itu ada hal-hal yang serupa, kemudian diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi kaidah fiqh. Oleh karena itu Abu Zahrah menta’rif kan kaedan fiqh dengan,“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya”19

b.      Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
a)      Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
b)      Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
c)      Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.

F.   ISI DAN SISTEMATIKA USHUL FIQH.
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
1.      Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
2.      Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
3.      Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain. ( kaidah –kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syarai dari dalil atau sumber yang mengandungnya).
4.      Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
5.      Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.

G.   SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH.
Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah metode dan gaya penulisan para ulama, yaitu:
Metode ahli ilmu kalam (Syafi’iyyah), Metode ahli fiqh (Hanafiyyah), Metode gabungan.
1.      Metode Syafi’iyyah
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i adalah kitab pertama yang menggunakan metode ini dalam penulisannya. Di antara ciri-ciri metode ini adalah:
Pertama: Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menghasilkan kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin tidak mendukung mazhab fiqh penulisnya.
Kedua: Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya.
Ketiga: Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai contoh penerapan saja. Metode ini juga menggunakan gaya perdebatan ilmiah dengan ungkapan:
فإن قلتم… قلنا  “Jika Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini adalah mereka yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan lain-lain.
a)      Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi’iyyah
1.      Ar-Risalah karya Imam Syafi’i (150-204 H).
2.      At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).
3.      Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-syafi’i (wafat th 436 H).
4.       Al-Burhan karya Abul-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Asy-Syafi’i/Imamul-haramain (410-478 H).
5.       Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H).
2.      Metode Hanafiyah
Metode ini memiliki karakter sebagai berikut: Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi, mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai. Kedua: Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul. Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis. Metode ini muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah ushul yang terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti yang ditinggalkan Imam Syafi’i untuk murid-muridnya. Dalam buku para imam mazhab Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-masalah Fiqh dan beberapa kaidah yang tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut. Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah Fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.
b)      Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah
1.      Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).
2.      Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).
3.      Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-Hanafi (wafat th 490 H).
4.      Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).
5.      Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H).


3.      Metode Gabungan
Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam.
Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh.
·         Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalahالفقه السياسي berasal dari dua kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah al-siyâsî (السياسي).
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.
Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal dari ساس – يسوس – سياسة yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam hadis: كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء والولاة بالرعية, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”. Bisa juga seperti kata-kata ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره yang artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: القيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya”.
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah secara istilah memiliki berbagai arti:
1.      Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan”.
2.      Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permsalahan mereka”.
3.      Menurut Imam Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur;
2.  Pihak yang diatur.
Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa: Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwafiqh siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Ini juga dibuktikan dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia: “Political Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of government, the state, and other political organizations, and any other factors which influence their behaviour, such as economics. A major concern is to establish how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within society.” Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.
Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syariat Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî. Dengan demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid al-syarî’ah; 3. Kaidah-kaidah usul fiqh serta cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.

H.  RUANG LINGKUP FIQH SIYÂSAH.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karanganfiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
Siyâsah Dustûriyyah;
1.      Siyâsah Mâliyyah;
2.       Siyâsah Qadlâ`iyyah;
3.      Siyâsah Harbiyyah;
4.      Siyâsah `Idâriyyah;
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
1.      Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2.      Siyâsah `Idâriyyah;
3.      Siyâsah Mâliyyah;
4.      Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah;
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:
1.      Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2.      Siyâsah Dauliyyah;
3.      Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:
1.      Siyâsah Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2.       Siyâsah Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3.      Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4.      Siyâsah Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5.      Siyâsah `Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6.      Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau internasional);
7.      Siyâsah Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8.      Siyâsah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.
Kedua : politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.
Ketiga : politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.
1.    Kedudukan Fiqh Siyâsah di dalam Sistematika Hukum Islam
Pra pembahasan kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam, perlulah untuk diketahui dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan manusia dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3. Hubungan manusia dengan masyarakat sosialnya.
Ini dikarenakan hukum Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk Islam, semuanya berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada Allah; juga untuk menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.
Agar dapat memenuhi peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga disebut fiqh yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang keluar dari seorang mukalaf, dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua perkara pokok:
1.      Fiqh ‘Ibâdah (Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat. Bagian dari Fiqh ‘Ibâdah adalah bersuci, solat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan sebagainya dari perkara-perkara yang bertujuan mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini melebihi 140 ayat.
2.      Fiqh Mu’âmalât (Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.24Bagian dari ini adalah segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dengan manusia yang lain, sama ada secara privat maupun publik.
a.    Hukum yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan keluarganya secara privat.
Dari pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum muamalah kepada beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât ini sangat luas. Pembagian tersebut adalah:
b.      Hukum kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan, dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan hak kebendaan seseorang.
c.       Hukum jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.
d.      Hukum acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses peradilan dalam meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan menegakkan keadilan di kalangan manusia.
e.       Hukum dustûriyyah: segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum dan dasar-dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh membahas bagaimana membatasi sebuah hukum dengan subyek hukum.
f.       Hukum pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara pemerintahan Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian, peperangan,international affairs, dan lain-lain yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam pemerintahannya.
g.      Hukum perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak warganegara dan pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak negara, harta rampasan perang, mata uang, pengaturan dana sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain yang berkaitan dengan kebendaan antara warganegara dan pemerintah.
h.      Akhlak dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata pergaulan yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan, sehingga nilai-nilai moral sangat diutamakan.
Secara kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu’âmalât. Ini apabila fiqh mu’âmalât diartikan dengan arti luas.
Akan tetapi, apabila fiqh mu’âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsahbukanlah fiqh mu’âmalât. Ini dikarenakan fiqh mu’âmalât adalah fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik, walaupun kemungkinan ada campur tangan pemerintah. Hanya saja pencampuran tersebut bukanlah secara esensial. Ini seperti apa yang diartikan secara sempit, menurut Khudlarî Beik: “Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”
Maka dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh siyâsah seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah dimasukkan fiqh siyâsah di dalam fiqh mu’âmalât secara arti luas, bukan sempit.
Dari sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan, fiqh siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang menjalankan konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.Imam al-Ghazâlî juga secara tegas menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I’tiqâd.
Buktinya, tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak mungkin akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil melahirkan undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa semua penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk mematuhi peraturan pernikahan tersebut yang terbentuk dari dasar-dasar Islami. Tanpa ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat diaplikasikan secara positif di Indonesia.
Contoh lain sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam pemerintahan, adalah adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk rakyat umum, serta berusaha menolak segala jenis kerusakan.27 Ini juga didasari oleh salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu kaidah fiqhiyyah. Kaidah yang terkenal adalahدفع المفاسد وجلب المصالح. Selanjutnya, batasan kemaslahatan tentunya dibatasi dengan kaidah المصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة, yang dapat membatasi pemerintah daripada hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau bagaimanapun, kebijakan pemerintah yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus ditaati. Maka dari itu terdapat kaedah “تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة”. Secara aplikasinya, kalau pengadilan tidak dapat menemukan wali bagi orang yang dibunuh (والي القاتل), maka pemerintah (jaksa) dapat menjadi wakil bagi mangsa sebagai penuntut. Malah bagi jaksa boleh menuntut untuk diqishâsh kalau perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih maslahat. Akan tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari pemberlakuan qishâsh seperti yang dimiliki wali yang asli.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam.






BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama islam,karena islam merupakan himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum amaliyyah.Hukum amaliyyah ini pada masa Rasullulah saw,terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-qur’an ,dari berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu pertanyaan .Kompilasi hukum-hukum fiqh pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah,dan sumbernya adalah al-qur’an dan as-sunnah
            Sistematika membahas kitab fiqh merupakan aturan atau urutan dalam membahas suatu permasalahan di dalam kitab-kitab fiqh. Ataupun dengan kata lain runut dalam menulis suatu permasalahan di dalam kitab fiqh. Setiap kitab fiqh mempunyai ciri yang berbeda termasuk di dalam menulis sistematikanya. Misalnya urutan atau sistematika yang ditulis oleh Al-Hilli dengan yang ditulis oleh Ibnu Rusyd, terdapat perbedaan baik dari pengolongan masalah fiqh atau bagian dan kitab mana yang dibahas terlebih dahulu ataupun perbedaan tata letak dalam penulisan. Seperti pembagian pembahasan fiqh yang pilah oleh As-Shiddiqi yaitu ibadah dan muamalahh. Ini berpengaruh juga dalam bentuk atau sistematika penulisan kitab.
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta. Data dan fakta ini dicari latar belakangnya serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu fiqih pada khususnya yang berlaku sepanjang masa. Penerapan semangat ajaran ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqih yaitu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.
Mengenai orang yang pertama menulis secara sistematik kitab fiqh, sebahagian ahli riwayah atau sejarah sepakat orang yang pertama melakukannya adalah Imam Abu Hanifah pada masa abasiyah
Daftar Pustaka

Ash shiddiqy, Teungkue Muhammad. 2001. Pengantar Hukum Fiqh Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Ahsin.1993. Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr.
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqih, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Ms, Burhani dan Hasbi Lawrens. 2003. Kamus ilmiah populer. Jombang: Lintas Media

Share this article :

Post a Comment

 
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger