BAB
I
PEMBAHASAN
A. Puasa Sunnah
Puasa Sunnah yaitu puasa yang
diamalkan secara sukarela dengan tujuan beribadah kepada Allah Swt. Puasa
sunnah ini suatu ibadah yang dituntut dari seorang mukalaf, tetapi bersifat
anjuran dan tidak memaksa. Meskipun bukan kewajiban bagi setiap Muslim tapi
memiliki buah kebaikan yang hendaknya setiap Muslim berusaha untuk memetiknya.
Mukalaf yang tidak melaksanakan puasa sunnah tidak mendapat dosa, hanya saja
tidak mendapatkan pahala dan keutamaan-keutamaan dari puasa sunnah. Lewat amalan
sunnah ini seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ
إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ
الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى
يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ،
وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya
yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan
jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari
no. 2506).
1. Ketentuan Puasa Sunnah
Ada beberapa ketentuan dalam melaksanakan puasa
sunnah ini, berikut adalah ketentuan-ketentuannya:
1. Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan
selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa
wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله
عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ.
قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ
صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada
suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya,
"Apakah kamu mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak
ada." Beliau berkata, "Kalau begitu, saya akan berpuasa."
Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai
Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari
kura, samin dan keju)." Maka beliau pun berkata, "Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa." (HR. Muslim no. 1154)
2.
Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah
sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا
شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan
seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan
istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh
istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”
Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar,
maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia
tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”
3. Boleh
menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah
diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat
dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi
mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk
tetap menyempurnakan puasa tersebut.
2. Macam-macam Puasa Sunnah
Adapun berikut ini macam-macam puasa
sunnah yang di contohkan oleh Rasulullah :
a. Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ
الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka
aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR.
Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa
pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739.
Shahih)
b. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى
وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan
padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati:berpuasa
tiga hari setiap bulannya, mengerjakan shalat Dhuha, mengerjakan shalat witir
sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ
مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari
setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada
hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau
tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR.
Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah
pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul
biid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul
biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no.
2345. Hasan).
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ
الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ
وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah
pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761
dan An Nasai no. 2424. Hasan)
c. Puasa Daud
Cara melakukan puasa Daud
adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ
دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ
الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا
وَيَصُوْمُ يَوْمًا
“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat
yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh
malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa
berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no.
1159)
Dari 'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ
اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - «
أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ
مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ،
فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ،
فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ »
. فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ «
فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ
مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ
دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .
Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku
berkata; "Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan
sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku." Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya ('Abdullah bin 'Amru): "Benarkah
kamu yang berkata; "Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh
aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab; "Demi
bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya".
Maka Beliau berkata: "Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya.
Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan
berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan
dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang
tahun." Aku katakan; "Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai
Rasulullah". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari dan
berbukalah selama dua hari". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu
yang lebih dari itu". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah
sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud
'alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama". Aku katakan
lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Maka beliau
bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu". (HR.
Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits di atas
menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari melakukan
puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.” Ibnul Qayyim Al
Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak
adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan
tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini
sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula
jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena
ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika
banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak
memperbanyak puasa. ... Wallahul Muwaffiq.”
d. Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله
عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan
yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim
no. 1156).
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no.
1156)
Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh
harinya) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Para ulama
berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan
berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa
selain Ramadhan adalah wajib.
5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan
Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
e. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ
فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ
مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi
amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul
Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan
Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula
jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud no. 2438, At
Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan
sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada
amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al
Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal
Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada
sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga
hari setiap bulannya, ...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
f. Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan
pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah?
Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan
setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa
’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu”
(HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan
melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ
إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah.
Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR.
Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
g. Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ
شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ
اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada
bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah-
menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk
berpuasa adalah pada bulan Muharram.”
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10
Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di
akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun
diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah
untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum
muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى
تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah
(jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu
Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
3. Keutamaan Puasa
Sunnah
Puasa Sunnah memiliki keutamaan yang
banyak dan agung, diantaranya sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih
berikut ini:
a.
Puasa Sunnah menyempurnakan puasa wajib pada hari kiamat
Rasulullah
saw bersabda “Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat
adalah shalatnya. Jika dia mendirikannya secara sempurna, maka ditulis secara
sempurna. Jika tidak, Allah berfirman, “Periksalah, apakah kalian mendapatkan
amalan sunnah pada hamba-Ku sehingga bisa menyempurnakan shlat wajibnya? Lalu
zakatnya juga akan dihitung sperti ini lalu semua amalanya juga akan dihisab
dengan cara seperti ini.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
b.
Perisai yang menjaga dari apai neraka
Dari hadits
Ka’ab bin Ujrah ra, bahwa Nabi saw berkata kepadanya, “Wahai Ka’ab bin Ujrah
shalat adalah tanda keimanan, dan puasa adalah perisai yang kokoh.” (HR.
Tirmidzi)
Nabi saw
bersabda, “Allah berfirman, puasa adalah perisai yang hamba menjadikannya
sebagai tameng dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku dan Aku yang memberinya
pahala.” (HR. Ahmad)
c.
Membentengi diri dari syahwat
Rasulullah
saw bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk
menikah maka menikahlah, karena hal itu lebih menundukkan pandangandan menjaga
kehormatan. Dan barangsiapa yang belum mapu maka berpuasalah karena itu adalah
tameng baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
d.
Berpuasa sehari di jalan Allah, Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka
sejauh 70 tahun
Nabi saw
bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah maka Allah akan
menjauhkan wajahnya dari api neraka sajauh 70 musim.” (Muttafapun ‘alaihi).
e.
Masuk surge dari pintu Arrayyan
Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang meningfakkan dua jenis dari hartanya di jalan
Allah maka akan dipanggil dari pintu-pintu surga, (lalu dikatakan kepadanya),
“Wahai hamba Allah ini adalah kebaikan (dari apa yang kamu amalkan).
Barangsiapa yang termasuk ahli shalat, maka akan dipanggil dari pitu shalat.
Dan barangsiapa yang termasuk ahli jihad, akan dipanggil dari pintu jihad.
Barangsiapa yang termsuk ahli puasa, maka akan dipanggil dari pintu Ar-Rayyan.
Barangsiapa yang termasuk ahli sedekah, dipanggil dari pintu sedekah.” Lantas
Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku (sebagai tebusan) untukmu wahai
Rasulullah, jika seseorang dipanggil di antara pintu-pintu yang ada itu sebuah
kepastian, maka apakah mingkin seseorang dipanggil dari semua pintu? Rasulullah
bersabda, “iya, dan aku berharap engkau termasuk mereka.” (Muttafaq ‘alaih).
f.
Di antara pekara pertama yang akan memasukkan seseorang ke dalam surge
Rasulullah
saw bersabda, “Siapa yang berpuasa pada hari ini? Berkata Abu Bakar, saya!
Rasulullah bertanya, siapa di antara kalian yang mengantarkan jenazah pada hari
ini? Abu Bakar berkata, saya! Rasulullah bertanya, dan siapakah yang memberi
makan orang miskin hari ini? Abu Bakar berkata, saya! Rasulullah bertanya, dan
siapa yang telah menjenguk orang sakit hari ini? Abu Bakar berkata, saya! Lalu
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah semua itu ada dalam diri seseorang kecuali
ia pasti akan pasti akan masuk surga.” (HR Muslim)
g.
Penghapus dosa
Nabi saw
bersabda, “Fitnah seseorang itu ada pada keluarganya, hartanya, anaknya dan
tetangganya. Dan yang dapat menghapusnya adalah shalat, puasa, sedekah, amar
ma’ruf dan mahi munkar. “(Muttafaq ‘alaih)
h. Menghilangkan
kedengkian, iri hati, dan waswas (kegelisahan) di dada
Nabi saw
bersabda, puasa sebulan (Ramadhan) adalah kesabaran dan tiga hari setiap bulan
menghilangkan kedengkian hati.” (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
i.
Allah menyiapkan kamar-kamar yang tinggi di surge bagiorang yang rutin puasa
sunnah
Nabi saw
bersabda, “Sesungguhnya di surge terdapat kamar yang bagian luarnya terlihat
dari bagian dalamnya, dan dalamnya terlihat dariluarnya. Allah menyediakannya
untuk orang yang memberi makan, yang melembutkan perkataan danrutin berpuasa,
menyebarkan salam, dan shalat malam ketika manusia sedang tertidur. (HR Ahmad)
j.
Di antara harta yang paling agung
Nabi saw
bersabda, “Harta yang agung adalah puasa pada musim dingin.” (HR Tirmidzi)
k. Memberi
syafaat pada hari kiamat
Rasulullah
saw bersabda, “Puasa dan al-Quran memberi syafaat bagi hamba di hari kiamat.
Puasa berkata, “Wahai Rabb, saya menghalanginya untuk makan dan memperturutkan
syahwatnya, maka berilah syafaatku padanya.” Dan al-Quran berkata, “Saya
menghalanginya tidur di malam hari maka syafaatku padanya.” (HR Ahmad)
l.
Barangsiapa yang diwafatkan dalam keadaan berpuasa maka masuk surge
Dari
Hudzaifah berkata, “Aku menyandarkan Rasulullah saw ke dadaku, lalu beliau
bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah denganmengharapkan
Wajah Allah dan wafat dalam keadaan yang demikian maka ia masuk surga. Dan
barangsiapa yang berpuasa sehari dengan mengharap Wajah Allah lalu wafat dalam
keadaan yang demikian maka ia masuk surga. Dan barangsiapa yang bersedekah
dengan mengharap Wajah Allah dan wafat dalam keadaan yang demikian maka ia
masuk surga.” (HR. Ahmad)
m. Dua kebahagiaan
bagi orang yang berpuasa
Nabi saw
bersabda, “….Dan bagi orang yang berpuasa dua kegembiraanyang ia bergembira
dengan keduanya; bila berbuka puasadia bergembira, dan bila bertemu dengan
Rabb-nya dia bergembira disebabkan puasanya tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)
n. Doa
orang yang berpuasa tidak tertolak sampai berbuka, dan ketika berbuka
Rasulullah
saw bersabda, “Tiga orang yang doa mereka tidak tertolak, pemimpin yang adil,
orang yang berpuasa sampai berbuka, dan doa orang yang terzalimi. Doanya
diangkat di atas awan dan pintu langit dibukakan baginya. Dan berkata Rabb,
demi Kemuliaan-Ku Aku akan menolongmu meski setelah berselang beberapa lama.
(HR Ibnu Majah)
B. Puasa Wajib Selain Bulan Ramadhan
Puasa wajib merupakan puasa yang
wajib dilaksanakan jika tidak dilaksanakan maka berdosa. Pada pembahasan kali
ini puasa wajib yang akan dibahas yaitu mengenai puasa wajib selain puasa
ramadhan. Sebab wajib dilaksanakan puasa ini dikarenakan telah melakukan
pelanggaran (kifarat), melakukan janji (nadzaar), dan mengganti puasa ramadhan
yang batal (qadha). Berikut penjelasan lebih lanjutnya:
1.
Puasa Qadha
Sebenarnya puaasa sebagai ibadah
yang diwajibkan hanya puasa Ramadhan. Adapun puasa wajib yang lain berkaitan
dengan puasa Ramadhan atau hal lain. Salah satunya adalah puasa qadha, yaitu
puasa untuk menggantikan puasa Ramadhan yang kita tinggalkan karena sebab
syar’i. Puasa qadha adalah puasa utang yang wajib dibayar. Jika kita
meninggalkan puasa pada bulan Ramadhan dan menurut aturan agama harus diganti,
berarti itu utang. Kita utang puasa kepada Allah dan pembayaran atau pelunasan
utang terhadap Allah lebih layak dilakukan daripada utang kepada makhluk. Pada
saat kita punya waktu untuk mengerjakan puasa qadha, kita harus segera
melakukannya. Allah memberikan tengat waktu sampai satu tahun. Dalam hadits
riwayat Muslim, Aisyah pernah mengqadha ketinggalan puasa pada bulan Sya’ban.
Tentang kewajiban mengganti hari-hari yang ditinggalkan dalam puasa Ramadhan
Allah berfirman,
“Bulan Ramadhan adalah (bulan)
yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu danpembeda (antara yang benar dan
yang batil). Karena itu, barangsiapa dei antara kamu ada di bulan itu, maka
berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa),
maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada
hari-hari yang lain Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang siberika kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah
: 185)
Orang yang wajib puasa qadha itu
adalah yang diharuskan berbuka puasa atau tidak puasa karena sessuatu sebab
yang diizinkan oleh syara’:
A. Orang sakit dan musafir
Islam memberi keringanan atau
rukhsah harus berbuka puasa atau tidak puasa kepada orang sakit dan musafir.
Tapi tetap mereka ini wajib mengganti qada puasa yang tertinggal pada hari-hari
lain.
Firman Allah SWT:
“….barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak
berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu pada hari-hari yang lain…”
(QS Al-Baqarah : 185)
(QS Al-Baqarah : 185)
B. Perempuan yang haid, nifas
atau bersalin
Perempuan yang sedang haid, nifas
dan bersalin tidak wajib puasa. Mereka wajib qadha puasa yang tertinggal
apabila keadaan mereka telah suci. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw :
“Daripada ‘Aisyah r.a berkata, “Pada zaman
Rasulullah, kami mengalami haid, maka kami disuruh qadha puasa tetapi tidak
disuruh qadha shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sedang bila seseorang meninggal
dunia sedangkan puasa qadhanya belum dilakukan, maka terdapat perbedaan ulama
dalam menunaikannya. Menurut Jumhur ulama, di antaranya Imam Hanafi, Imam Malik
dan juga Imam Syafi’I berpendapat bahwa wali tidak boleh mengganti puasa yang
ditinggalkannya, hanya saja mereka hendaklah memberikan mekanan kepada fakir
miskin untuk setiap hari ia berhutang (besarnya sama dengan fidyah).
Sedangkan menurut golongan Syafi’i,
disunnahkan bagi wali untuk menggantikan puasa yang akan membebaskannya dari
kewajiban dan tidak perlu membayar fidyah. Yang dimaksud wali adalah ahli
waris. Kerabat maupun keluarga dekat lainnya. Jika ingin digantikan oleh yang
lain maka harus ada izin dari walinya. Jika tidak, maka puasa qadha tersebut
tidak sah. Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi saw:
“Siapa yang meninggal dunia sedang ia masih mempunyai
kewajiban berpuasa hendaklah digantika oleh walinya.” (HR Bukhari
dan Muslim dari ‘Aisyah)
Ada sebuah riwayat lain dari Ibnu Abbas bahwa seorang
laki-laki telah datang kepada Rasulullah saw lalu bertanya, “Ya Rasulullah, Ibu
saya telah meninggal. Padahal ia masih mempunyai utang puasa Ramadhan sebulan.
Apakah saya bisa mengqadha puasanya?” Maka Rasulullah saw. Menjawab,
“Sesungguhnya ibumu masih mempunyai utang, apakah kamu bayar utangnya itu?”
Jawabnya, “Tentu”. Maka sabda Nabi saw., “Demikian pula hutang kepada Allah
lebih patut untuk dibayar.” (HR Ahmad)
2.
Puasa Kifarat
Puasa kifarat (kafarat) diberlakukan
atas pelanggaran yang dilakukan seorang Muslim atas hukum Allah yang sudah
berketetapan. Karena perbuatan yang ia lakukan tersebut Allah masih memberikan
maaf, di samping bertobat ia harus melakukan atau membayar kafarat tersebut
agar tobatnya diterima. Adapun pelanggaran yang dilakukan seseorang sehingga ia
harus membayar kafarat adalah:
A.
Hubungan
badan di siang hari ramadhan
Melakukan hubungan badan pada siang
hari di bulan Ramadhan adalah pelanggaran yang sangat berat hukumannya. Maka,
seseorang yang melanggar hal itu harus berpuasa selama 60 hari berturut-turut
tanpa terpisah sama sekali kecuali ada udzur syar’I, apabila tidak mampu maka
harus memberi makan kepada 60 orang miskin.
Kifarat wajib dilakukan berkali-kali
bila pelanggaran yang menyebabkannya berkali-kali dilakukan pada hari-hari yang
berbeda. Sedang kalau dilakukan pada hari yang sama, maka kifaratnya
cukup satu kali saja.
Kemudian apabila seseorang melakukan
pelanggaran yang mewajibkannya berkifaratm dan langsung dia kifarati, tetapi
pada hari itu juga dia melakukan lagi perbuatan yang sama, maka cukuplah
baginya satu kifarat yang telah dia lakukan tadi, sekalipun dia menanggung dosa
besar tentunya. Dan Allah jualah Yang Lebih Tahu.
B.
Membunuh seorang
muslim tanpa disengaja.
Kesalahan tersebut mewajibkan
pelaksanaan salah satu dari dua denda, yaitu diyat atau kifarat.
Kifarat untuk itu ada dua macam yaitu:
Kifarat untuk itu ada dua macam yaitu:
a.
Memerdekan hamba beriman yang tidak ada cela pada
dirinya yang menghambat kerja atau usaha
b.
Puasa 2 (dua)
bulan berturut-turut.
Ulama Syafi’iyah
menambahkan bahwa jika seseorang karena tua atau sangat lemah tidak kuat
berpuasa, maka ia dapat menggantikannya dengan member makanan untuk 60 orang
miskin masing-masing 1 mud (+ 1 liter)
c.
Seorang suami melakukan zhihar .Karena ucapan zhihar itu suami tersebut bergaul dengan istrinya. Kemudian
ia bermaksud menarik kembali ucapan zhiharnya itu karena keinginannya untuk
bergaul seperti sebelum terjadinya zhihar.
a.
Wajib membayar kifarat, ialah memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak
mampu,
b.
Berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika ia tidak kuat berpuasa, maka ia terkena
hokum wajib member makanan untuk orang-orang miskin sebanyak 60 orang
masing-masing 1 mud.
d.
Bersumpah lantas dengan sengaja ia melanggar sumpahnya
Pelanggaran
tersebut menyebabkannya terkena kifarat sumpah, yaitu:
a. Wajib
memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak mampu,
b. Wajib
memberi makan/pakaian 1 orang miskin atau jika itupun ia tidak mampu,
c.
Wajib berpuasa 3 hari
e.
Seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, baik yang halal maupun
yang haram.
Kifaratnya adalah:
a. Menggantinya dengan
hewan ternak yang seimbang dengan binatang buruan yg dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil dan disembelih sebagai hadya (kurban) di tanah
haram serta dagingnya diberikan kepada fakir miskin, atau jika tidak mampu,
b. Memberi makanan kepada
fakir miskin yang banyaknya sedemikian rupa sehingga seimbang dengan hadya
(hewan pengganti) tersebut, atau
c. Berpuasa sejumlah
hari yang seimbang dengan makanan yang seharusnya ia keluarkan (jumlah hari
puasa itu adalah sebanyak mud yang diberikan kepada fakir dan miskin. Mud
tersebut dibanding seimbangkan dengan hewan yang disembelih tadi).
3.
Puasa Nadzar
“Barang
siapa bernadzar akan menaati Allah maka hendaklah ia menaati-Nya dan
barangsiapa bernadzar akan mendurhakai Allah, maka janganlah ia
mendurhakai-Nya.” (HR Abu Dawud)
Bernadzar artinya berjanji akan
berpuasa, apabila misalnya sembuh dari sakit atau jika diperkenankan sesuatu
maksud yang baik (yang bukan maksiat) dalam rangka mensyukuri nikmat atau untuk
mendekatkan diri kepada Allah, maka wajivlah atasnya untuk melaksanakannya.
Puasa nadzar pada dasarnya utang, bahkan lebih tegas lagi karena biasanya
dikaitkan dengan sesuatu. Oleh karena itu, seorang yang bernadzar wajib
melaksanakan puasa nadzar tersebut sebab ia sendiri yang membuatnya wajib.
Dengan mengatakan, misalnya, “Jika saya sembuh nanti, maka saya akan puasa
selama lima hari berturut-turut,” maka setelah sembuh puasa lima hari
berturut-turut tersebut wajib baginya untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, kita harus
berhati-hati dalam berndzar. Janganlah kita mengucapkan nadzar akan melakukan
sesuatu termasuk puasa, jika kita tidak sanggup melaksanakannya. Jangan hanya
karena kesulitan yang menerpa kita kemudian berndzar akan,, misalnya, berpuasa
dua bulan berturut-turut karena itu akan memberatkan diri sendiri. Padahal,
Allah sendiri tidak memintanya. Nadzar sangat baik dilaksanakan sebagai rasa
syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita, terutama setelah hilangnya
kesulitan dalam diri atau keluarga, asal nadzar tersebut masuk akal dalam
pelaksanaannya dan tidak memberatkan diri.
Jika seseorang memiliki nadzar
kemudian meninggal tanpa sempat menunaikan nadzarnya, maka puasa nadzar itu
diwariskan atau ditanggung oleh wali atau pewarisnya untuk disempurnakan
Sa’ad bin Ubadah r.a berkata: “Dia
bertanya kepada Rasulullah, Ibuku meninggal dunia dan dia memiliki nadzar yang
belum terpenuhi.” Rasulullah bersabda : “Qadhakanlah puasanya untuk ibumu.”
(HR Bukhari, Muslim, Al-Nassai’, Tirmidzi dan Ahmad).
Post a Comment