Selamat datang Iskandar Menulis.Com

Featured post

Membangun Hubungan Interpersonal Antara Pustakawan Dan Pemustaka

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Konsep perpustakaan sebagai sebuah kesatuan organisasi yang terstuktur dalam tujuanya m...

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. B DENGAN DIAGNOSA FRAKTUR FEMUR DIRUANG RAWAT BEDAH PRIA RUMAH SAKIT

Tuesday, 30 December 20140 comments


ASUHAN KEPERAWATAN PADA  Tn. B DENGAN DIAGNOSA FRAKTUR FEMUR
DIRUANG RAWAT BEDAH PRIA RUMAH SAKIT
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membandingkan dan menganalisa antara teori dengan kasus yang telah dibahas pada bab III mengenai asuhan keperawatan pada klien Tn. B dengan Fraktur  Femur .
Adapun yang akan dibahas dalam bab ini meliputi kesamaan, kesenjangan antara teori dan kasus yang ditemukan pada klien Tn. B dengan Fraktur Femur serta factor penghambat dan pendukung dalam asuhan keperawatan pada klien Tn. B dengan diagnosa medis Fraktur  Femur diruang Rawat Bedah Pria Rumah Sakit Meraxa Banda Aceh yang dilakukuan selama tiga hari dari tanggal 23 Desember 2014 sampai 25 Desenber 2014.
A.    Pengkajian Keperawatan
Proses pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2014. Pada tahap pengkajian penulis mengumpulkan data dasar melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan catatan medis pasien.
Pada tahap pengkajian di temukan perbedaan antara teori dengan kasus. Secara teori ditemukan adanya kelainan deformitas dan krepitasi, tetapi pada kasus tidak ditemukan adanya deformitas dan krepitasi, karena klien sudah dilakukan pemasangan plate dan screw sejak 1 hari yang lalu, karena proses penyembuhan sedang berlangsung.
Untuk etiologi dan predisposisi terjadinya fraktur serta penatalaksanaan medis tidak ditemukan adanya kesenjangan. Faktor pendukung yaitu pada pengkajian keperawatan klien terlihat kooperatif saat dilakukan pemeriksaan. Sedangkan faktor penghambat yaitu data-data yang ada pada status klien tidak terdokumentasikan dengan lengkap. Pemecahan masalahnya yaitu dengan cara bertanya kembali kepada klien ataupun keluarga klien serta pada perawat yang bertanggungjawab di ruangan tersebut.

B. Diagnosa Keperawatan
Pada diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur femur sinistra di dalam teori terdapat 6 diagnosa keperawatan. Sedangkan pada kasus Tn. B dengan fraktur femur sinistra terdapat 4 diagnosa keperawatan. Adapun diagnosa yang muncul pada teori tetapi tidak muncul pada kasus adalah :
1.         Nyeri (akut) berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, dan cedera pada jaringan lunak.
2.         Defisit perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan melakukan aktivitas.
3.         Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidaknyamanan.
4.         Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi / tidak mengenal sumber informasi. 

Pada tahap ini yang menjadi faktor pendukung yaitu berdasarkan hasil analisa data ditemukannya data-data yang mengacu pada diagnosa keperawatan yang muncul
Selain itu faktor penghambat yang muncul yaitu ada beberapa data atau informasi yang kurang lengkap pada saat pengkajian sehingga penulis sedikit kesulitan dalam menegakkan diagnosa. Tetapi dengan cara mengkaji ulang dan mengumpulkan informasi lebih lengkap lagi maka diagnosa pun dapat ditegakkan.
C. Perencanaan Keperawatan
Pada tahap perencanaan keperawatan terdapat perbedaan antara teori dengan kasus. Dimana pada teori tidak dicantumkan waktu karena tidak dapat diidentifikasi, sedangkan pada kasus waktu dibutuhkan untuk program tercapainya tujuan keperawatan. Berdasarkan hirarki Maslows rumusan masalah keperawatan disesuaikan dengan prioritas.   
Pada penentuan prioritas, disesuaikan dengan yang ada pada teori. Diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan menjadi diagnose prioritas karena apabila nyeri tidak diatasi maka akan mengganggu kenyamanan klien selain itu nyeri merupakan sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan bagi pasien berkaitan dengan kerusakan jaringan. Sehingga nyeri dapat merupakan factor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk pulih dari suatu penyakit. (Asmadi, 2008)
Diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, menjadi diagnose kedua karena jika tidak diatasi akan mengakibatkan komplikasi yaitu atrofi otot. Diagnosa ketiga yaitu gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah karena jika tidak diatasi akan menyebabkan terjadinya abrasi kulit yang semakin luas yang memungkinkan bakteri berkembang biak sehingga terjadi infeksi. Diagnose keempat yaitu resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan invasive (pemasangan plate), jika tidak diatasi maka akan terjadi infeksi.
Factor pendukung yang penulis dapatkan pada penyusunan perencanaan adalah adanya bantuan dari perawat senior dan kawan-kawan mahasiswa dalam membuat rencana keperawatan. Tidak ditemukan faktor penghambat dalam penyusunan perencanaan keperawatan.

D. Pelaksanaan Keperawatan
Dalam tahap pelaksanaan, tindakan keperawatan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dibuat dan semua tindakan yang dilakukan pada klien didokumentasikan ke dalam catatan keperawatan.
Ada beberapa rencana tindakan yang tidak dapat dilaksanakan. Pada diagnose yang pertama penulis tidak mempertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, bebat/gips, traksi karena tahap penyembuhan tulang klien telah pada tahap penyembuhan ke dua yaitu tahap proliferasi seluler dan klien sudah diperbolehkan untuk melakukan mobilisasi dini. Tidak melakukan kompres dingin pada daerah yang sakit. Hal ini dikarenakan klien post op pemasangan plate hari ke – 8 dan kondisi luka masih basah, tidak melakukan perubahan posisi karena klien sudah dapat bermobilisasi dini.
Pada diagnosa kedua yaitu gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, penulis tidak melakukan perubahan posisi secara periodic dikarenakan pasien sudah dapat bermobilisasi. Pada diagnose ketiga yaitu gangguan integritas kulit berhubungan dengan, insisi bedah rencana tindakan yang tidak dapat direalisasikan adalah massase kulit di daerah penonjolan tulang dan area distal gips karena klien pada tanggal 14 Juli 2010 gips sudah tidak terpasang. Pada diagnose keempat yaitu resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan invasive (pemasangan plate), ada rencana tindakan yang tidak dapat direalisasikan yaitu melakukan kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (leukosit) karena tidak ditemukan tanda-tanda infeksi.
Faktor pendukung yang penulis dapatkan adalah keluarga yang sangat kooperatif dan mau bekerja sama saat dilakukan tindakan keperawatan. Factor penghambat yang penulis temukan adalah adanya keterbatasan waktu dalam melaksanakan tindakan keperawatan, serta keterbatasan alat yang digunakan untuk melakukan perawatan luka. Alternative pemecahan masalah yang penulis lakukan adalah dengan memanfaatkan waktu seefisien mungkin dan meminimalkan penggunaan alat-alat sehingga kesterilan alat dapat terjaga
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam penulisan proses kepeawatan, pada evaluasi ini penulis menilai sejauh mana tujuan keperawatan dapat dicapai dari 4 diagnosa pada kasus Tn. S. Setelah dievaluasi, semua diagnose keperawatan yang telah dibuat sebelumnya masalah belum teratasi,dan tujuan keperawatan belum tercapai.
Pada diagnose gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, hasil evaluasi adalah masalah keperawatan belum teratasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya keluhan nyeri pada daerah pemasangan plate dan screw.
Diagnosa gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neurovaskuler, belum teratasi karena klien masih terpasang plate.
Diagnosa gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah belum teratasi karena pada tanggal 16 Juli 2010, kondisi luka pada batang femur masih tampak basah dan mengeluarkan darah. Diagnosa resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan invasive (pemasangan plate) belum teratasi karena klien masih terpasang plate dan screw. Keadaan pemasangan plate dan screw ini masih beresiko terhadap terjadinya infeksi.
Faktor pendukung yang penulis temukan saat melakukan evaluasi keperawatan adalah adanya bantuan dari perawat ruangan dan rekan mahasiswa dalam memberikan askep pada klien, serta dengan adanya informasi dari tenaga medis lainnya, juga adanya criteria hasil yang sudah penulis buat sebelumnya sehingga dapat di jadikan pedoman dalam menentukan apakah tujuan tercapai atau belum.
Factor penghambat yang penulis temukan adalah adanya keterbatasan waktu yang diberikan kepada penulis untuk memberikan asuhan keperawatan pada Tn. S. Alternative pemecahan masalah yang penulis lakukan adalah dengan mengkonfirmasikan/mendelegasikan perencanaan keperawatan yang belum dapat dilakukan oleh penulis kepada perawat di ruangan untuk melanjutkan sehingga evaluasi dapat dilakukan secara tunta

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
     Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. B dengan diagnosa Fraktur Femur Dextraa Post Pemasangan Plate dan Screw, diperoleh data bahwa Klien mengeluh nyeri pada daerah pemasangan plate dan screw, kualitas nyeri seperti berdenyut, intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada saat klien melakukan pergerakan atau perubahan posisi dan akan berkurang jika klien beristirahat atau diberikan obat analgetik, klien mengeluh sulit melakukan aktivitas karena terasa nyeri jika melakukan pergerakan.
     Pada diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus juga terdapat dalam teori klien fraktur femur adalah tujuh diagnosa, tiga diagnosa keperawatan tidak terdapat dalam kasus. Hal ini dikarenakan tidak ada data yang menunjang untuk menegakkan diagnosa keperawatan tersebut. Adapun diagnosa yang muncul pada kasus adalah gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah, dan resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen akibat tindakan invasive (pemasangan plate).
   Pada tahap perencanaan, rencana keperawatan disusun sesuai dengan masalah keperawatan. Dalam memprioritaskan masalah keperawatan dilihat dari kebutuhan dan kondisi klien pada saat pengkajian.
     Pada tahap pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah dibuat dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Penulis melakukan tindakan keperawatan antara lain adalah mengkaji lokasi dan karakteristik nyeri, yaitu nyeri pada derah pemasangan plate dan screw dengan skala nyeri 4, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan memberikan posisi nyaman sehingga klien lebih rileks dan nyaman, melakukan observasi tanda-tanda vital, melakukan perawatan luka dengan tehnik septic dan aseptic agar luka bersih dan bebas dari infeksi yaitu melakukan tehnik aseptic seperti mencuci tangan sebelum melakukan tindakan keperawatan dan mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan, sedangkan perawat ruangan khususnya Mahoni II dalam melakukan tindakan keperawatan tidak melakukan komunikasi terapeutik, tidak mendokumentasikan tindakan keperawatan yang telah dilakukan serta tidak memperhatikan tehnik aseptik.
     nyaman sehingga klien lebih rileks dan nyaman, melakukan observasi tanda-tanda vital, melakukan perawatan luka dengan tehnik septic dan aseptic agar luka bersih dan bebas dari infeksi yaitu melakukan tehnik aseptic seperti mencuci tangan sebelum melakukan tindakan keperawatan dan mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan, sedangkan perawat ruangan khususnya Mahoni II dalam melakukan tindakan keperawatan tidak melakukan komunikasi terapeutik, tidak mendokumentasikan tindakan keperawatan yang telah dilakukan serta tidak memperhatikan tehnik aseptik.
     Pada tahap evaluasi yang di lakukan pada tanggal 23 Desember 2014 dari empat diagnosa keperawatan yang ada tujuan belum tercapai dan masalah keperawatan belum teratasi semua. Adapun diagnosa yang belum teratasi adalah gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah, dan resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme pathogen karena tindakan invasive (pemasangan plate).

B. Saran
Untuk perawat
a. Hendaknya setiap memberikan asuhan keperawatan harus di dokumentasikan dengan baik dan benar untuk mempertanggung jawabkan keadaan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Hendaknya setiap memberikan tindakan keperawatan seperti perawatan luka dan perawatan infuse harus meperhatikan tekhnik septic dan aseptic yaitu mencuci tangan sebelum melakukan tindakan keperawatan dan menjaga kesterilan alat dalam melakukan tindakan keperawatan agar tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika         
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Monica Ester, Penerjemah Jakarta: EGC
Marilyn, E. Doenges, et-al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Monica Ester, Penerjemah Jakarta:EGC
Muttakin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Volume 1. Edisi 4. Renata Komalasari, Penerjemah. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6. Brahm U. Pendit, Penerjemah. Jakarta: EGC
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
EGC
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume II. Edisi 8. Agung Waluyo, Penerjemah. Jakarta : EGC



Share this article :

Post a Comment

 
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger