Makalah
MENDUKUNG PENGALAMAN ANAK MELALUI
BACAAN
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada penghulu alam Nabi Besar Muhammad
SAW beserta keluarga,para sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir
zaman.
.
Pada kesempatan ini,dengan segala hormat dan
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak
memberikan bantuan dan dukungan serta bimbingannya, sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan dan penulisanmakalah, dengan
judul “tindakan
konseling untuk mengentaskan permasalahan
dengan menggunakan alat
media ”
maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak sehingga dapat menyempurnakan makalah ini.
Harapan penulis semoga karya tulis dapat memberi
manfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya.
Banda Aceh, 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakang
Membaca
pada hakikatnya merupakan proses membangun makna dari pesan yang disampaikan
melalui simbol-simbol tulisan. Dalam proses tersebut, pembaca mengintegrasikan
atau mengaitkan antara informasi, pesan dalam tulisan dengan pengetahuan atau
pengalaman yang telah dimiliki (skemata) pembaca. Dalam proses membaca, pembaca
menggunakan berbagai ketrampilan meliputi ketrampilan fisik dan mental.
Aspek konstruktif dalam proses membaca, mencakup kegiatan
menggunakan kesan sensori visual dan hasil interpretasi bersama-sama dengan
latar belakang pengalaman untuk membangun makna. Membangun makna dari bacaan
merupakan proses aktif dalam membaca. Pembaca tidak hanya menyerap makna dengan
mengambil dari kata-kata yang dilihat dengan mata, tetapi mereka juga harus
berinteraksi dengan teks melalui informasi yang ada dalam latar belakang
pengetahuan yang dimiliki pembaca.
B. Pembahasan
Pengertian
Pendekatan Konstruktivisme
Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi “constructivism may
be considered an epistemology (a philosophical framework or theory of learning)
which argues humans construct meaning from current knowledge structures”
Dikatakan bahwa orang membangun pengetahuan dan pemahaman
mereka tentang dunia dengan mengalami sesuatu dan merefleksikan sesuatu itu
dengan pengalaman yang diperoleh sendiri dalam kehidupan sebelumnya. Artinya,
ketika kita menghadapi sesuatu yang baru, hendaknya sesuatu yang baru itu
dipadukan dengan ide dan pengalaman riil yang diperoleh di masa sebelumnya.
Dasar pemikiran
konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia. Orang
yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,
melainkan menciptakan pengertian sendiri (Bettencourt, dalam Suparno, 1997).
Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang
lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri.
Penerapan
konstruktivisme dalam proses belajar - mengajar menghasilkan metode pengajaran
yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin,
1992). Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai
orang yang menanggapi secara aktif objek - objek dan peristiwa - peristiwa dalam
lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan
peristiwa-peristiwa itu.
Menurut teori
ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan
pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai
pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani
sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran
(insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam
pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak
& Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan
sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.
Pandangan
konstruktivisme tentang pendidikan menekankan pentingnya siswa menyadari alasan
dan tujuan ia belajar. Ini mengingatkan kepada teori perkembangan dari tokoh
psikologi kognitif yang juga merupakan salah satu dasar dari konstruktivisme., Teori Konstruktivisme dikembangkan
berdasarkan gagasan Jean Piaget dan Lev Vigotsky, kedua ahli tersebut
mengemukakan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep yang telah
difahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya
memahami informasi-informasi baru. Piaget (1954) mengatakan bahwa anak
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan
objek-objek di lingkungan. Merujuk pendapat Piaget ini, anak adalah pembelajar
yang pada dirinya sudah memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami
sendiri konsekuensi dari tindakan-tindakannya.
Konstruktivisme
memandang pengajar sebagai mitra para siswa untuk menemukan pengetahuan.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid melainkan
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan
mengajar di sini adalah sebuah partisipasi dalam proses belajar. Pengajar ikut
aktif bersama siswa dalam membentuk pengetahuan, mencipta makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian terhadap berbagai
hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir secara
kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri.
Pendekatan konstruktivisme merupakan salah satu alternatif
pendekatan dalam pembelajaran membaca. Pendekatan ini menekankan peranan
pembelajar secara aktif dan kreatif. Melalui proses aktif dan kreatif inilah
diharapkan pembelajar memperoleh prestasi hasil belajar yang baik sesuai dengan
harapan yang telah ditetapkan. Sejalan dengan tujuan pembelajaran kurikulum
bahwa pembelajaran membaca agar siswa memiliki kegemaran dan keterampilan
membaca serta meningkatkan pengetahuan untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari
Ciri dan Prinsip - prinsip Pendekatan Konstruktivisme
Proses
belajar dan mengajar yang menggunakan pendekatan konstruktivis memiliki ciri-
ciri (Carr dkk., 1998: 8-9) sebagai berikut:
1.
murid-murid
lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses
integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman pengetahuan mereka yang lama;
2.
setiap
pandangan yang berbeda akan dihargai dan sekaligus diperlukan; murid-murid
didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara
terintegrasi,
3.
proses
pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing.
Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan murid untuk mengingat pelajaran
lebih lama;
4.
kontrol
kecepatan dan fokus pelajaran ada pada murid; cara ini akan lebih memberdayakan
murid;
5.
pendekatan
konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dari konteks
dunia nyata.
Selanjutnya
ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran bahasa.
a.
Ditinjau
dari segi waktu, belajar merupakan pendewasaan individu, dalam rangka
merefleksikan segala kebutuhan yang diperlukan, baik oleh pendidik maupun oleh
siswa.
b.
Fokus
utama proses pembelajaran adalah adanya suatu pemahaman dan kinerja penampilan
yang diharapkan dari siswa.
c.
Belajar
merupakan suatu proses sosial yang bisa berbentuk dorongan untuk bekerja sama,
menggunakan ketrampilan berbahasa, melibatkan siswa dalam suasana alam yang
sebenarnya, mendorong siswa untuk melakukan dialog dan komunikasi dengan guru
dan semua siswa.
d.
Belajar
bahasa dalam keterkaitannya dengan masalah-masalah lain. Artinya, belajar
bahasa memiliki keterkaitan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar
lingkungan hidup.
Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Dari prinsip-prinsip di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan
pembelajaran merupakan proses yang aktif. Lingkungan belajar perlu dikondisikan
agar memiliki situasi yang mampu membuat siswa dapat menciptakan pengetahuan
melalui aktivitasnya sendiri, baik fisik maupun mental.
Selanjutnya, dalam proses pembelajaran guru harus berperan
sebagai;
a.
Fasilitator, guru harus merencanakan dan mengorganisasikan proses
pembelajaran dengan baik.
b.
Pembimbing
(guide), guru
melakukan bimbingan dan penyuluhan, memberikan arahan-arahan untuk membantu
siswa dalam proses pembelajaran.
c.
Berpikir
terbuka (open minded), guru
diharapkan dapat mengakomodasikan segala cara untuk mencapai efektifitas
pembelajaran.
d.
Pendukung
(supporter), guru
diharapkan mampu memberikan saran, tantangan kreatifitas, dan berpikir
bebas.
e.
Mengakui
cara belajar individual, guru
harus selalu mampu memperhatikan segala kemungkinan - kemungkinan adanya
kekuatan, keperluan, dan perasaan setiap siswa (Arbainsyah: 70-71).
BAB II
PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
1.
Discovery Learning.
Dalam
model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep
konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya.
1.
Guru
mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan
teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan.
2.
Pertanyaan
yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban
sementara (hipotesis).
3.
Mengumpulkan
data dari berbagai sumber yang relevan, dan
menguji hipotesis.
4.
Siswa
membentuk konsep dan prinsip.
5.
Guru
memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan.
6.
Merefleksikan
pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.
Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses
dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan
masalah, mengevaluasi solusi, dan berpikir logis.
2.
Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang
bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis
masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara
mereka untuk menyelesaikan masalah.
1. Guru memotivasi diri siswa, dan
mengarahkannya kepada permasalahan.
2. Guru membantu siswa dengan memberi
petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk
belajar dengan membuat kelompok kerja.
3. Guru menyemangati siswa untuk
mencari lebih banyak literatur, melakukan mbuat penjelasan untuk menemukan
solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikan.
4. Kelompok kerja siswa
mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam
mendiskusikannya.
5. Kelompok kerja siswa menganalisis,
dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru membantu
siswa dalam merefleksikannya.
Pada
model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya.
Mereka bersama - sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara,
guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata.
Pengertian dan Hakikat Membaca
Banyak definisi tentang membaca yang dikemukakan oleh para
ahli. Goodman (1996:2-3) menyatakan bahwa membaca merupakan suatu proses
dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikodekan oleh
penulis. Di dalam proses ini, penulis melakukan pengkodean linguistik yang
kemudian diuraikan oleh pembaca untuk mendapatkan pemahaman atau makna. Penulis
mengkodekan pikiran ke dalam bahasa, pembaca menafsirkan kode tersebut menjadi
pikiran dan makna. Dengan demikian dalam membaca terjadi interaksi antara
bahasa dan pikiran.
Membaca merupakan kegiatan mengkonstruk makna. Melalui
membaca, pembaca merekonstruksi pesan yang disampaikan penulis dalam teks.
Berkenaan dengan itu, Rosenblatt (dalam Tompkins, 1991:267) berpendapat bahwa
membaca merupakan proses transaksional. Proses membaca meliputi sejumlah
langkah selama pembaca mengkonstruk makna melalui interaksinya dengan teks atau
bahan bacaan. Makna dihasilkan melalui proses transaksional ini.
Kegiatan membaca merupakan aktivitas berbahasa yang bersifat
reseptif kedua setelah menyimak (listening). Hubungan antara penutur (penulis)
dengan penerima (pembaca) bersifat tidak langsung. Berbagai informasi entah itu
berita, cerita atau ilmu pengetahuan dan lain-lain sangat efektif diumumkan
melalui sarana tulisan, baik dalam bentuk surat kabar, majalah, surat,
selebaran, buku-buku cerita, buku pelajaran, literatur dan sebagainya. Dengan
demikian aktivitas membaca tentang berbagai sumber informasi tersebut akan sangat
membuka dan memperluas dunia dan horizon seseorang.
Pelaksanaan Pembelajaran Membaca
Dengan Pendekatan Konstruktivisme
Pembelajaran
membaca dengan pendekatan konstruktivisme dapat diaktualisasikan antara lain
dalam kegiatan sebagai berikut;
Dari
matrik di atas dapat dilihat tahap-tahapnya;
1. Tahap Pengamatan
Pengamatan terhadap tindakan pem-belajaran membaca pemahaman
dilakukan bersama pelaksanaan tindakan. Hal ini dilaksanakan secara intensif,
obyektif, dan sistematis. Dalam tahap ini guru mengenal, merekam, dan
mendokumentasikan semua indikator dari proses hasil perubahan yang terjadi baik
dari tindakan yang terencana maupun dampak intervensi dalam pembelajaran.
2. Tahap Refleksi
Refleksi diadakan setelah siklus tersebut berakhir. Masalah
yang didiskusikan menyangkut kegiatan menganalisis tindakan yang baru dilakukan,
mengulas dan menjelaskan perbedaan rencana dan pelaksanaan tindakan yang telah
dilakukan, dan melakukan intervensi, pemaknaan, penyimpulan data yang
diperoleh. Hasil refleksi ini dimanfaatkan sebagai masukan pada tindakan
selanjutnya.
Tidak ada satupun teori tunggal
konstruktivisme, begitu pula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai
penerapan konstruktivisme. Walaupun demikian banyak dari kaum konstruktivis,
merekomendasikan kepada pendidik bahwa:
-
Pembelajaran
melekat dalam lingkungan belajar yang kompleks, realistis, dan relevan.
-
Menyediakan
negosiasi sosial, dan tanggungjawab bersama sebagai bagian dari pembelajaran.
-
Mendukung
pandangan beragam dan menggunakan representasi yang juga beragam terhadap isi
yang dipelajari.
-
Meningkatkan
kesadaran diri dan pengertian bahwa pengetahuan itu dibangun, dan
Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.
Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.
Semua tahapan ini dapat dikondisikan
oleh Guru Bahasa Inggris baik untuk tingkat M Ts maupun MA. Membaca (Reading)
merupakan aspek ketrampilan berbahasa, di samping ketrampilan bahasa lainnya,
yang harus terus ditingkatkan pencapaian kemampuannya. Dengan penerapan yang
berulang - ulang maka peningkatan kemampuan membaca (reading) para guru akan
tercapai. Lebih lanjut, tahapan ini dapat diterapkan di kelas sekolah masing -
masing sehingga kemampuan membaca para siswa pun dapat ditingkatkan.
C. Kesimpulan
Untuk belajar, anak mesti aktif.
Untuk belajar membaca, anak harus membaca, mengatakan tentang apa yang mereka
baca, atau menyatakan tentang ide yang ada dalam buku. Kegiatan mental dalam
membangun pengetahuan baru adalah hasil dari kegiatan fisik (dalam hal ini,
membaca adalah kegiatan fisik). Anak akan belajar ketika mereka mempunyai
pengalaman dalam membangkitkan skemata yang melibatkan mental.
Anak memperoleh bahasa secara
alamiah melalui interaksi dengan orang dewasa dan anak lain. Supaya siswa
menjadi pembaca yang lancar seharusnya guru atau orang dewasa menyediakan
materi atau bahan-bahan bacaan, menyediakan waktunya untuk bertanya tentang
materi bacaan pada anak, dan menjadi model membaca bagi anak. Proses membaca
terjadi apabila terjalin interaksi antara pembaca dengan teks bacaan. Dalam
membaca terjadi transaksi antara aktivitas jiwa pembaca dengan teks bacaan.
Strategi yang diterapkan oleh guru akan sangat membantu peningkatan kemampuan
siswa
DAFTAR PUSTAKA
Arbainsyah, Penerapan Pendekatan Konstruktivisme untuk
Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Interpretatif Siswa, Telabang:
Jurnal Kependidikan Volume I, Nomor I, Januari-Juni, 2008
Baradja, Muhammad Fuad. 1990. Kapita Selekta Pengajaran
Bahasa, Malang: FKIP.
Bernard, E. S. 2005. Kompetensi Membaca, Yogyakarta:
Balitbang LP3 UMY
Brooks, J.G. & Brooks, M.G. 1999. In Search of
Understanding the Case for Constructivist Classrooms. Alexandria, Va.:
ASCD.
Carr, A.A., Jonassen, D.H., Litzinger, M.E. & Marra,
R.M. 1998. Good Ideas to Foment Educational Revolution: The Role of Systemic
Change in Advancing Situated Learning, Constructivist, and Feminist Pedagogy.
Educational Technology, 38 (1): 5-15.
Cox, Carole & James Zarrillo. 1999. Teaching Reading
with Children’s Literature, New York: Mac Millan Publishing Company
Fachrurrazy. 1993. Teaching English Language Skills and
Components: A Handbook for TEFL Course. Malang: English Department FPBS
IKIP Malang.
Fachrurrazy. JURNAL PENDIDIKAN & PEMBELAJARAN, VOL. 9,
NO. 1, APRIL 2002: 1-6
Flood, J. & Lapp, D. 1989. Reading Comprehension
Instruction: Research on Teaching Specific Aspects of the English Language Arts
Curriculum.
Fosnot, C.
1996. “Constructivism: A Psychologycal Theory of Learning”. Dalam C. Fosnot (Editor): Constructivism: Theory,
Perspectives, and Practice. New York: Teachers College
Jonassen, D.H. & Rohrer-Murphy, L. 1999. Activity
Theory as a Framework for Designing Constructivist Learning Environments.
Educational Technology, Research and Develop-ment, 47 (1): 61-79.
Novak, J.D., & B. Gowin. 1984. Learning How to Learn.
Cambridge: Cambridge University Press
Nunan, D. 1991. Language Teaching Methodology: A Textbook
for Teachers. New York: Prentice Hall.
Nurgiantora, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran
Bahasa dan Sastra, Yogyakarta: BPFE.
Piaget, Jean (1954). The Construction of Reality in the
Child. New York: Ballantine Books.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruk tivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Wikipedia (2008)
Post a Comment